Khianat
Jam pagi berdetak. Bersiap segala manusia mencari pundi-pundi uang. Rasanya baru semalam Parta bertemu dengan anak dan istrinya. Baru semalam Parta dapat mencurahkan gelisah rindunya selama bekerja di perantauan. Tentulah lelaki yang sudah berbini apalagi beranak tak dapat melepaskan kenangan rumahnya.
“Sayangku Nadia, jaga anak kita dan dirimu!”
“Itu sudah pasti, Mas.”
“Aku kerja dulu, banting tulang untuk cari uang.”
“Jangan lupa telepon kalau sudah sampai.”
“I love you.”
“I love you too.”
Dengan mengendarai sepeda motor tuanya, Parta bergegas pergi. Dalam benaknya susah melepas kepergiannya sendiri. Dibayang-bayangi oleh wajah istrinya dan jeritan tangis anaknya. Tapi dikibaskan semua itu untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang kepala keluarga.
“Ayah, ayah.”
“Sudah bangun ya. Ayah sudah berangkat.”
“Kenapa Lasmi tidak dibangunkan ayah?”
“Ayahmu buru-buru. Jarak dari Temanggung ke Semarang kan jauh.”
Anak Parta yang bernama Lasmi bangun dan memanggil ayahnya. Begitu juga dengan anaknya, rindu pada ayah ketika ditinggal pergi bekerja membuatnya bersedih. Nadia pun membopong anaknya masuk ke kamar dan segera menyuruhnya untuk segera mandi dan persiapan pergi ke sekolah.
Lasmi anak yang rajin dan baik. Dia kini kelas 5 SD. Prestasinya di bidang olahraga taekwondo tidak diragukan lagi. Sudah beberapa piala dia kantongi. Selain prestasi di bidang olahraga, Lasmi juga berprestasi di bidang akademik. Dia selalu mendapat peringkat pertama di kelas mengalahkan teman-temannya. Apalagi dalam mapel bahasa Indonesia yang sangat dia kuasai. Nilainya selalu bagus.
Parta memang mendidik anaknya untuk selalu mendapat juara pertama dalam bidang akademik dan berprestasi di bidang non akademik. Parta sendiri seorang lulusan doktoral dari salah satu Universitas ternama dan populer di Jogjakarta. Dia bekerja sebagai salah satu dosen di Universitas Semarang. Jarak rumahnya di Temanggung yang jauh itu memutuskannya untuk berpisah dari keluarganya dan pulang seminggu sekali.
Cita-cita Parta sejak muda dulu memang menjadi seorang dosen. Rela ditinggalkannya pekerjaan guru negeri untuk meraih cita-citanya itu. Dia terkenal pandai. Dia tidak perlu tes lagi untuk masuk ke Universitas ketika kuliah karena dia mendapatkan undangan untuk masuk ke Universitas yang dia pilih.
Istrinya disuruhnya untuk resign dari pekerjaan administrasi pabrik. Dia ingin istrinya mengurusi anak dan rumah. Umur Parta dan istrinya terpaut 7 tahun lebih tua Parta. Selama 5 tahun pernikahan rumah tangga mereka baik-baik saja. Saling mesra dan penuh kepedulian ketika mereka sedang merindu.
Parta tiba di kampus sesudah mengendarai motornya selama berjam-jam. Pantatnya panas karena kelamaan duduk di atas jok motor. Sesekali dia berhenti istirahat di pom bensin untuk duduk melepas penat dalam perjalanan. Dirapikannya bajunya dengan memakai dasi dan sepatu hitam.
“Selamat pagi pak Parta.”
“Selamat pagi pak Juli. Bagaimana kabarnya hari ini, baik?”
“Baik dan penuh semangat pak.”
“Saya pun juga begitu.”
“Pasti habis dari Temanggung kan?”
“Iya, tadi subuh saya dari rumah.”
Baru bersapa dengan teman sesama dosen, telepon Parta berdering. Dikeluarkannya telepon dari saku jaketnya. Ternyata Nadia yang menghubunginya. Dia segera tidak basa-basi dan mengangkat telpon dari istrinya.
“Sayang, sudah sampai kampus?”
“Baru saja sampai sayang.”
“Bagaimana perjalanan tadi, aman kah?”
“Aman sayangku. Aman!”
“Semangat mengajar ya, sayang.”
“Iya, terimakasih sayang.”
Parta menutup telepon dan bersama temannya masuk ke gedung. Parta menyiapkan beberapa materi perkuliahan yang akan dia ajarkan. Parta adalah dosen sastra Indonesia. Dia mengajar mata kuliah psikologi sastra. Setelah menyiapkan beberapa PowerPoint untuk perkuliahan mahasiswa-mahasiswanya, dia segera masuk ke gedung sebelah untuk mengajar.
Parta terkenal sebagai dosen yang asyik dan kalem. Dia tidak pernah marah ketika mengajar. Bahkan mahasiswa-mahasiswanya tertarik untuk mengikuti materi perkuliahannya sampai selesai. Walaupun ada pula yang tidak betah duduk di ruang dan memilih keluar. Parta menjelaskan materi tentang studi psikologi sastra zaman kolonialisme. Di dalam pengajaran yang dia berikan, dia menyisipkan salah satu puisinya untuk dibaca oleh salah satu perwakilan mahasiswa.
Selama dua jam mengajar, kini selesai sudah pembelajaran. Dia segera mencari teleponnya dan menghubungi Nadia. Dia tidak bisa untuk tidak bucin. Dia sangat mencintai istrinya. Sehingga dia sangat effort kepada istrinya. Dia menghabiskan waktu selain untuk mengajar juga untuk menelepon istrinya setiap saat. Parta tidak mau kehilangan istrinya yang dia cintai sangat-sangat itu.
“Halo sayangku.”
“Iya sayang. Sudah selesai mengajarnya?”
“Sudah. Bagaimana Lasmi, dia sudah pergi ke sekolah?”
“Sudah, tadi naik sepeda bersama dengan Rudi tetangga kita.”
“Sudah makan belum?”
“Sudah. Kamu sudah makan belum?”
“Belum. Suapin dong, Yang!”
“Jauh, bagaimana menyuapinya?”
“Ya begitulah. Kamu janji ya?
“Janji apa sayang?”
“Jangan pernah tinggalkan aku!”
“Sudah berapa kali kamu bilang begitu, tentu aku tidak akan tinggalkan kamu.”
“Janji?”
“Iya, janji.”
Begitu sayangnya Parta kepada istrinya. Sampai-sampai cincin emas pernikahan mereka selalu dipakai Parta. Dia sudah dewasa, tapi masih bucin. Hatinya selalu dibayangi ketakutan. Setiap hari gelisah, takut istrinya pergi meninggalkannya dan selingkuh dengan lelaki lain.
Tetapi apa yang dipikirkan Parta dalam kegelisahannya itu memang benar-benar terjadi. Nadia yang jauh dari suaminya selalu menelepon Sukra mantan kekasihnya. Nadia tidak bisa menghilangkan bayang-bayang Sukra. Karena cinta pertama Nadia adalah Sukra. Sukra yang pertama kali meniduri Nadia ketika mereka masih berpacaran.
Bahkan di hadapan Parta, Nadia pernah bercerita kalau dia dulu sangat mencintai Sukra. Setiap kali Sukra butuh uang Nadia akan memberikannya berapapun juga secara cuma-cuma. Bahkan Nadia rela pergi ke rumah Sukra ketika usai seharian bekerja. Hanya demi bertemu Sukra dan mengajak Sukra pergi makan dan jalan-jalan. Sukra tidak pernah mengeluarkan uang sama sekali. Pasti Nadia yang selalu membiayainya. Karena memang Nadia yang sangat cinta pada Sukra.
Hari ini, tepat siang hari Sukra berjanji akan menemui Nadia di sebuah kedai. Mereka biasa berpacaran seperti dulu. Sungguh amat keji dan nista perbuatan Nadia. Nadia sudah bersuami dan beranak pula. Tapi tega menghianati janjinya pada Parta. Sedangkan Parta adalah lelaki yang baik dan tulus mencintai Nadia. Dia bekerja banting tulang hanya untuk kebahagiaan Nadia. Tetapi uang yang dikasih Parta justru digunakan Nadia untuk selingkuh dengan Sukra.
Sudah beberapa kali Nadia dan Sukra keluar-masuk hotel yang sama hanya untuk melakukan hubungan badan. Perbuatan itu dilakukan Nadia karena dia dalam hati tidak pernah mencintai Parta. Dia hanya cinta pada Sukra seorang. Tiada yang lain di dalam hatinya selain Sukra.
Hari itu seusai mengajar, Parta merasa hatinya cemas. Ada perasaan khawatir yang tidak biasa. Dia menelepon istrinya berulang kali tapi tidak diangkat. Berulangkali Parta mengirim pesan kepada istrinya tapi tidak dibalas. Sudah 3 hari telepon tidak diangkat dan pesan Parta tidak dibalas Nadia. Karena resah dan cemas, dia tidak bisa berpikir. Dia memutuskan untuk pulang ke Temanggung dengan ijin lebih dulu kepada Kaprodi (Kepala Program Studi).
Dalam perjalanan pulang, hati Parta sangat kesal dan marah. Dia berpikir apa yang telah dilakukan Nadia, kenapa tidak mengangkat teleponnya dan tidak mau diajak berkomunikasi. Biasanya Nadia lah yang mengajak komunikasi lebih dulu dan selalu perhatian kepada Parta. Setelah berjam-jam berkendara, dia sampai di rumah. Didapati rumahnya sepi. Parta mengetuk pintu dan mengucap salam berulang kali, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Tidak ada yang membuka pintu.
“Siapa itu?”
“Ini ayah nak.”
“Ayah.”
Lasmi membuka pintu. Dan dia menangis. Tidak ada Nadia di dalam rumah. Semestinya Nadia menjaga rumah dan Lasmi. Tapi dibiarkannya Lasmi sendirian di rumah. Parta semakin tambah curiga dan dicarinya istrinya ke seluruh isi rumah, tapi tidak dia temukan keberadaan istrinya.
Tiba-tiba Nadia datang dengan mengendarai motor. Dia beralasan kepada suaminya kalau habis dari belanja daging dan sayur untuk di rumah. Parta mau marah tapi tidak bisa. Dia takut istrinya akan sakit hati dan pergi meninggalkannya.
“Dari pasar apa dari mana, jujur saja!”
“Aku belanja dan aku tidak mau mengulangi lagi perkataanku. Apa kamu tuli?”
“Lasmi kamu tinggalkan sendiri di rumah?”
“Itu urusanku. Kenapa, tidak suka?”
“Kamu itu, sungguh...”
“Begitu ya ternyata kamu, marah dan selalu memarahiku. Jadi ini sifat aslimu.”
“Astagfirullah. Sadar sayang. Kapan aku pernah marah padamu. Ini saja aku tidak berani marah.”
“Sudahlah, lebih baik kita berpisah. Aku sudah muak denganmu.”
“Ingatlah janji yang pernah kamu ucapkan padaku!”
“Aku sudah lupa, kamu yang membuatku sakit hati. Aku kamu bikin sakit hati setiap hari.”
“Jangan pergi sayang!”
“Jangan panggil aku sayang. Aku bukan siap-siapamu lagi. Kita resmi berpisah.”
Sungguh sangat dalam kesedihan hati Parta. Hatinya bagai ditusuk belati ditambah dirobek dengan pisau yang tajam. Parta hanya bisa menangis. Dia tidak berani marah. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Hanya dipeluknya Lasmi. Lasmi menangis dipelukan Parta sambil memanggil ibunya agar tidak pergi meninggalkannya. Nadia sudah menyiapkan pakaian dan tas lalu pergi meninggalkan rumah.
Ternyata Nadia sudah berjanji akan pergi hidup bersama Sukra. Nadia menciumi bibir Sukra dan memeluknya erat. Sukra juga memeluk Nadia dengan erat. Mereka berdua tersenyum dan saling mencium pipi.
“Sudah kamu tinggalkan lelaki tua itu?”
“Sudah, biarkan saja. Aku jijik tiap kali mengingat wajahnya. Wajahnya tua dan jelek. Bucin pula.”
“Iya sayangku.”
“Dasar Parta, lelaki tua tidak tahu diri. Maunya memiliki gadis yang cantik dan muda. Mimpi dia itu.”
Nadia dan Sukra akhirnya pergi bersama dan hidup bersama. Sedangkan Parta dan anaknya menaggung malu. Jadi gunjingan tetangga dan bahan ejekan tetangga. Bahkan Parta diejek oleh teman-temannya sesama dosen karena sudah ditinggalkan istrinya secara hina.
Pati, 6 Juni 2025