Puisi Abdul Turgenev - NEGARA

Indonesia Gugur

: Dipengaruhi puisi Gugur Karya Rendra

Indonesia gugur
di atas rakyat yang gugur—
laki-laki dan perempuan
tertidur dalam aspal yang meleleh,
mulut mereka tersumbat bendera
yang tak lagi punya warna.

Di kota yang tumbuh seperti jamur busuk,
bendera berkibar setengah hati,
tidak karena tiang yang pendek
tapi karena angin menolak menyentuhnya.

Penguasaku—
mereka minum anggur merah
yang meledak di tenggorokan,
tawa mereka berkeping-keping
di dinding istana,
dan mata mereka seperti kaca
jendela yang retak,
tak bisa melihat keluar,
hanya bayangan sendiri yang membusuk.

Rakyat, rakyatmu,
adalah bayangan yang tak lagi memiliki tubuh.
Mereka berjalan di trotoar yang melunak,
terperosok ke dalam lubang-lubang jalanan
yang tiba-tiba tumbuh gigi dan
mencabik-cabik harapan.

Indonesia gugur
di atas jalanan yang terkubur.
Gedung-gedung hotel
melompat ke langit seperti hewan buas
yang telah belajar berdiri
di atas kaki belakangnya,
mal-mal megah menganga,
dan aku melihatnya menelan lelaki tua
yang memeluk sepotong koran
seakan itu adalah kitab suci terakhir.

Apa kita ikhlaskan saja?
Gugur Indonesia di dunia,
karena di surga,
tak ada yang peduli.

Para malaikat membalik
halaman kitab mereka
tanpa membaca satu pun
nama dari negeri ini.
Para roh menggantung
di antara tiang listrik,
menghisap angin terakhir
dari kerusuhan
yang sudah lama padam.

Indonesia lahir di bumi
di mana segalanya pasti mati,
tapi matinya seperti ikan
yang meronta
di ember bocor,
seperti kuda yang kakinya patah
di arena yang sunyi.

Dan kalau Indonesia sudah gugur,
maka yang tersisa hanyalah suara
dari televisi yang statis—
nama-nama yang dikubur terburu-buru,
prasasti dari granit yang
retak sebelum diresmikan,
dan anak-anak sekolah yang diajari
menyanyikan lagu yang bahkan
sudah lupa pada liriknya sendiri...

Rendra berkata:
"Ada tertinggal sedikit kenangan,
tapi semata tiada lebih dari penipuan
atau semacam pencegah bunuh diri."

Dan memang, apa lagi yang tersisa?
Sejarah terkoyak,
terbang seperti abu rokok
dari para politisi yang
menandatangani perjanjian
dengan pena yang terbuat
dari tulang rakyatnya sendiri.

Anak-anak berdiri di halaman sekolah,
bermain dengan bayangannya sendiri
karena guru-guru telah berubah
menjadi patung garam
yang mencair di bawah propaganda.

Penguasaku. Gugur, ya,
gugur semua gugur.
Negara, bangsa, rakyat di dalamnya—
yang kita lihat cuman kerangka belaka,
duduk di bangku taman,
menghitung bintang yang sudah mati,
menunggu fajar yang tak kunjung datang,
karena matahari telah
menulis surat pengunduran diri,
meninggalkan negeri ini
dalam gelap yang tak berkesudahan.

Di kejauhan,
sebuah suara dari tanah berbisik:
"Jangan kubur aku di sini..."
Tapi malam sudah terlalu pekat
untuk mendengar apa pun.

2025

MEMBACA PUISI UNTUK PRESIDEN

ketika
tsunami tertidur dalam bahasa Indonesia,
televisi berkhotbah tentang penguasa,
tapi suara-suara memantulkan tanda tanya.

selamat datang, Khalifah.
Ibnu menyambut dengan warna—
yang tak pernah benar-benar bisa kita lihat.

Irawan! ini Sepeda.
bacalah puisi cinta, karena cinta
adalah sesuatu yang tetap terbakar
meski angin dari Waikabubak
mengacak dua siswa yang tertawa.

selamat datang, Khalifah.
Ibnu berkata dengan suara
yang pecah seperti gelas retak.

algoritma paket premium dihitung
dalam doa metavers. maaf, kawan,
server bebas iklan perlu ditingkatkan.
tapi malam ini tsunami masih
menggeliat dalam tidurnya,
seolah menunggu sesuatu.

jangan lagi punggungi lautmu.
tataplah dia:
puisi penguasa yang ditulis
di selembar wajah berita.

This is the most serious poem.
di mesin pencari, iklan berhenti bermunculan.
aku mengetik ombak, aku mengetik lautan,
tapi yang kudapatkan hanyalah gambar-gambar
tanpa suara, seperti ikan mati
mengambang di perairan yang jernih.

pelan-pelan.
Great Earthquake muncul di layar,
menelan ludah panas khatulistiwa.
tetapi suara-suara masih memantulkan
tanda-tanda.
aku tahu, kau paling kuat.
tapi mungkinkah manusia biasa,
yang tiada berkekuatan dewa,
mampu bertahan?
tulis seorang mahasiswa di Selat Malaka.

kepakkan sayapmu lalu terbanglah.
katanya,
sementara tubuhnya—
dibalut opoh ulen-ulen, kain adat Gayo—
diam mendengar suara
yang datang dari arah laut.

awas.

ada genderuwo di istana,
Fadli Zon melengkapi dua suara.
jaya bumi Indonesia,
tambah Ulfa Ilmi.

ketika
puting beliung menjaga halaman penutup,
televisi tak selesai juga mengucapkan salam,
tetapi suara-suara memantulkan
mata kantuk yang tak pernah sepenuhnya terpejam.

2025

Percakapan

Di ruang praktik
bau antiseptik
menggerayangi muka pejabat
dan dingin berdenyut
dalam irama gusi bernanah.
Lalau suara hasil lab berdengung
dari senyum lampu neon.

"Begini, pejabat!
berapa maksiat
yang menggeliat
di selangkangan pelacur kelas dua
dan di aspal jalan yang lengket?"

kata Dokter

"ah, cukup!
jangan diteruskan.
nalarku sudah tak muat,
penuh ludah dan darah kering."

Di ruang praktik
dalam tawa dingin
tatapan mata, diam,
tak berkutik.

2025