Puisi Abdul Turgenev - KESEHARIAN

Di Pinggir Kota

kehangatan bagai jaket lusuh,
dilucuti dingin yang mengendap di celah jari
menusuk tanpa belas kasihan,
merayap ke tulang, ke dada yang keras kepala,
tapi tetap saja gemetar dalam kecemasan murahan.

sepanjang jarak, sepanjang nasib
yang digantungkan
di seutas keyakinan yang mulai aus,
mata kita menelanjangi langit seperti gelandangan lapar,
mengais cahaya di antara neon
yang berkedip lelah,
dengan tali pengaman yang sudah longgar
meski langit tetap melubang, tetap menganga,
seperti mulut kucing jalanan yang tak mau mati.

di kejauhan, warung kopi berdiri seperti kuil tua,
menjamu para nabi mabuk
dengan gelas-gelas retak,
seorang lelaki menyesap hitam pekat,
mengaduk masa depan yang
mengendap seperti ampas,
dan malam, oh, malam...
hanya menertawakan kita semua,
seolah tahu betul betapa takdir
adalah lelucon murahan
yang terus diulang, malam demi malam.

2025

Tambal Ban

bau oli dan sampah plastik kering
mencekik udara, menyusup ke pori-pori
bercucuran di antara hidung
dan keringat yang berlomba
dengan kemacetan dan kebisingan.

--lay! ban bocor mulu kenapa ya?
kataku, separuh curiga, separuh putus asa.

--merek Cina emang gitu,
katanya, ganti produk sendiri dong!

dompet kosong menertawakanku,
seperti anjing lapar di pinggir jalan.
bau oli dan sampah plastik
juga menertawakanku,
keras, tanpa belas kasihan.

--yang murah aja, yang penting bisa.

bau oli dan sampah plastik kering
mencekik udara, menyusup ke pori-pori.

--gratis kali ini, yang penting
besok mampir lagi ke sini,
teriaknya, seperti pedagang yang tahu
pelanggan tetapnya seorang pecundang.

--gila! itu beneran baru bukan?
beli aja, nanti abal-abal lagi,
tolakku, tak yakin pada siapa pun,
termasuk diriku sendiri.

--di Indonesia, apa yang benar-benar baru?
pungkasnya.
bau oli dan sampah plastik kering
mencekik udara, menyusup ke pori-pori
dan kami berdua tertawa.

2025

Mabuk Filsafat

Sebelum Mazhab Frankfurt dicerna,
cicipilah Pascamodern sebagai pembuka,
biarkan asin getirnya merayap
di lidah
sebelum Descartes tertawa
dan kau tersedak oleh kepastian
yang terlalu bulat.

Aliri tenggorokan Klasikmu,
biarkan Aristoteles
terjatuh dari bibir kaca
sebelum materialisme menyentakmu
dengan Vodka murah.

Kau tahu ini hanya permainan kata,
tapi apa bedanya?
Teguk lagi, lihat dunia berputar,
dan tertawalah bersama Kant yang
barangkali sudah mati
sejak gelas pertama.

Jika satu botol Positivismemu dicampur
setengah gelas eksistensialisme,
mungkin kau bisa berpura-pura
memahami dunia
sebelum realisme kemanusiaanmu
menggeliat
dalam mabuk fenomenologi apokalitik.
Tapi, agar Bushidomu kawin
dengan Foucault,
kau harus lebih tolol dari yang
kau kira. Hadapkan wajahmu
ke gelas kaca
dan lihat Judith Butler atau Sartre
mengejekmu dengan pantulan samar
di antara botol-botol kosong.

Setelah Aristoteles diteguk,
cicipilah Aquinas atau
Nietzsche sebagai pelengkap dahaga.
Lihatlah Konfusius menunggu
di ujung meja, menghitung detik
sebelum Camus menderita
dan nihilisme tumpah di meja
penuh noda.

Minumlah, teguklah, habiskan
segalanya, karena dunia ini
terlalu sadar
untuk bisa dipahami tanpa mabuk.

2025