Puisi Abdul Turgenev - CINTA

PERCAKAPAN DIGITAL

: melihat iklan peringatan 100 Tahun Pram

"Hai, sayang!
Apa kamu menyukai Pramoedya?"
notifikasi membusuk di gawai tua.

realisme carut-marut
pejabat, diam-diam, kentut
dan di antara suara kentut itu
ribuan iklan menggiring tatapan
ke Instagram, ke rak toko buku,
ke daftar "bacaan wajib sebelum mati."

"Hai, book lovers!
APAKAH kamu sedang mencari
buku yang akan mengubah hidupmu?
Ya! Buku Pramoedya adalah jawabannya.
Maka, nantikan edisi terbarunya, ya."
tulisan menggugah di kanal Gramedia,
seolah hidup ini sesederhana
memilih font dan layout.

"Hai, sayang! Tetralogi Pramoedya,
edisi baru. Sampulnya biru."
katanya, seperti katalog
yang kehabisan kata-kata.

Pesan lain masuk:
"ada diskusi sejarah dan
kepenulisan Pramoedya."
"oiya, emangnya Pram dipenjara karena PKI?"
"Hamka vs Pram, siapa pemenangnya?"
"sayang! Pram melawan kolonialisme?"

matahari menyengat trotoar yang pecah,
pejabat, terang-terangan, kentut.
dan aku, duduk di kedai kopi,
membaca ulang baris-baris tua,
bukan dari Pramoedya,
tapi dari struk tagihan.

"Apa, sayang? Pram itu siapa?"
balasku, singkat.

Astaga! Notifikasi melolong lagi.
"Ini perayaan besar.
Pramoedya. Sosok besar.
Kamu tahu Blora?
Tahu Bumi Manusia?
Atau Anak Semua Bangsa?
Payah kamu, sayang."

Aku menyeruput kopi dingin
yang sudah basi.
"Sayang, aku mau kerja.
besok aku gajian, kita harus pesta?"

"Iya, tapi pesta buku Pramoedya."

"Pesta kok buku.
Pesta itu...
"Layar berkedip, baterai
sekarat, dan sunyi menelanku
seperti Pram yang lupa
karyanya sendiri.

2025

Percakapan I

Maukah kau kucintai dengan
cinta yang pernah dimuntahkan
di selokan Jogja,
teriak Saut Situmorang,
tangannya masih bau alkohol.

Mana bisa? Cinta bukan puntung
rokok di asbak murahan,
bantah lelaki berkacamata
tebal yang tadi sore membaca
Neruda dengan sisa gaji bulanan.

Tentu bisa. Cinta harus pingsan
dulu di meja judi sebelum
bisa menghafal sajak Chairil,
tambah sarjana muda
dengan jaket yang mulai sobek.

Cinta itu sederhana, seperti nasi kucing,
kata perempuan tua
sambil meremas tangannya
di warung kopi yang terlalu
gelap untuk membaca puisi.

Itu metafora!
teriak wartawan Surabaya,
seperti koran pagi yang
dibuang sebelum sempat dibaca.

Payung dan hujan, angin dan debu,
gumam perempuan muda
yang mengutip sajak
di antara dua tegukan kopi hitam.

Bulan, mawar, lautan,
tapi juga bangku patah,
cat yang mengelupas,
dan sepatu berlubang,
tambah pemuda dua puluh tiga
yang baru saja dipecat dari pekerjaan pertamanya.

Jadi, cinta itu metafora?
tanya penyair Jakarta,
yang lebih sering menulis iklan parfum.

Cinta itu seribu tahun lamanya,
atau binatang jalang yang dikebiri,
jawab penyair muda
sambil menyalakan rokok terakhirnya.

Apa yang bisa diharapkan
dari hujan dan bulan Juni?
tanya penyair perempuan
yang sudah mengubur
lima puisi di bawah ranjangnya.

Langit di luar dan di dalam bersatu,
kata Rendra,
tapi tak ada yang
benar-benar percaya.

Aku dekap kamu,
ejek Goenawan Mohamad,
tapi siapa yang butuh
dekapan di malam seperti ini?

Tolongtolongtolongtolongngngngngng!
Sutarji bersuara,
tapi tidak ada yang
benar-benar mendengarkan.

Akankah kita utamakan percakapan begini?
tanya Sitor Situmorang
sambil meneguk anggur murahan.

Yang belum sempat tersentuh warna,
Jokpin menjawab,
sambil melipat kertas kosong.

Cinta yang tak akan pernah dijarakkan,
Aan Mansyur bersuara,
tapi angin hanya tertawa dan pergi.

Pengantinku!
teriak Korrie Layun Rampan,
tapi kaca jendela hanya menatap balik.

Mari kekasih, jangan ragu,
Armijn Pane menampakkan,
sebelum tenggelam
dalam arus kota yang tidak peduli.

Tercengang aku takjub, terdiam,
Asrul Sani melengkapi,
tapi waktu tidak menunggu
orang yang terdiam.

Kutulis surat ini kala hujan gerimis,
bantah Rendra,
tapi tinta sudah lama pudar.

Karena ini bunga, maka
ciumlah dengan bening jiwa,
tambah Emha,
tapi semua bunga sudah
berubah menjadi abu rokok.

Amboi!
teriak Saut Situmorang,
tapi malam sudah malas menanggapi.

Jadi bagaimana?
tanya penyair muda,
yang telah kehilangan segalanya
kecuali suara yang masih tersisa di tenggorokan.

Lupakan saja, cinta ah,
tegas kekasih penyair muda,
sambil membakar secarik
puisi yang tak sempat dibaca.

Bilamana bulan jadi kentut,
terang mahasiswa sastra
yang kini hanya berbicara dengan cermin.

Sudah! Lupakan saja,
tutup perempuan remaja,
sebelum menghilang
di gang sempit yang lupa namanya.

2025

Perahu TubuhMu

: Dibayang-bayangi Rimbaud melalui Saut Situmorang

(Ayu!
Medan dan Jakarta
hanya udara yang memisahkan
kudayung perahu
ke selangkanganmu—
basah, liar, terbuka.)

gelombang menerjang batu
seperti dosa menetes dari bibir pelaut.

Di laut selatan, angin menjilati layar
perahu berguncang dan paha mengejang
di ujung malam yang berkeringat.
Di jalur sutra, pedagang menjual rempah
tapi yang kubeli hanya ciuman
yang terselip di celah dadamu.

Perahuku mendesah
rempah-rempah dan candu menempelkan
lendir sejarah, meleleh di sela kayu
apakah kau ikut denganku?

Aku mengarungi Malaka
mencium leher kota yang terbuka,
mencabik Medan dengan dengusan.
Ayu, laut Andaman menjerit namamu
Lakadewa merentangkan kakinya,
ombak menyedot lunas perahu
dan malam terhisap dalam lidah berkeringat.

Bibirmu terangkat,
menggigit sisa remaja
yang dipeluk masa lalu.
Masih sanggupkah mengangkangi badai
sampai kita tenggelam
ke dasar Ashkharah?

Teluk Oman bernafas berat
Bahrain menyingkap roknya
tarian Liwa memutar pinggul
sampai aroma tubuhmu meluap
teluk Aden menyeringai
Arab dan Somalia meneguk anggur
dan tawa perempuan-perempuan
memenuhi lambung kapal.

Mortir meledak di Suez
darah mengucur di Aqaba
Israel dan Palestina
Mesir dan Ethiopia
lelaki dan perempuan bertelanjang
di bawah bendera perang.

(Ayu!
Medan dan Jakarta
hanya udara yang memisahkan
kudayung perahu
ke selangkanganmu.)

Atlantik menggigit ekor kapal
Spanyol dan Kolombia mengoleskan kokain
di payudara revolusi.
Senjata nuklir dan morfin kelas tiga
menyelubungi perjalanan
tujuh tahun meneguk mabuk dan muntah.

Perahuku melintasi Pasifik Utara
meninggalkan jejak di antara tubuh-tubuh
yang mengerang di pangkuan gelap.
Di pantai Jepang, kebaya merah tersesat
di antara kepiting-kepiting liar.
Di pelabuhan Rusia,
angin menyentuh luka
yang ditinggalkan bibirmu.

Tak ada kincir Belanda
yang bisa menghisap sisa ludah ini.
Tak ada jalan pulang
hanya punggungmu yang terbuka
di bawah layar yang berkibar.

Air mengaum
ciumanku merembes
batu karang menggigit
kunang-kunang mati
tanpa sinar
di antara selangkangan puisi
yang basah oleh sisa dosa.

(Ayu!
Medan dan Jakarta
hanya udara yang memisahkan
kudayung perahuke selangkanganmu.)


Perahuku bergerak
tak ingin menjadi karang yang dingin
memandang laut pergi tanpa bisa menyelinap
ke dalam tubuhmu yang memanggil.

Lautan menghilang
tanganku mencari pahamu
kakiku menyusuri tepian dada
mulutku menyesap luka yang mekar
seperti daging yang haus.

Aku menjauh dari Pasifik Selatan
mendekat ke bibir Antartika
dingin menusuk
tapi putingmu tetap hangat.

Burung camar Amerika berkicau
dalam desahan terakhir
matahari mengintip di sela kayu jati
mengingatkan pahamu yang bergetar.
Aku menyelam ke dalammu
ombak menelan tubuh kita
lendir dan asin bercampur
perahu karam
luka terbuka.

Aku terus mendayung
sampai bingung
oleh lautan yang menghunus
di seluruh pelayaran.

Bacalah lautan
Medan dan Jakarta akan kutemukan
di dalam nyawa yang menggelora
di atas gelombang yang memekik.

Maka, ikutkah kau denganku
berlayar tanpa peta
tanpa pakaian
tanpa nama?

2025

Gelas Anggur

: Mencoba membayangkan Lorca melalui Rendra

gelas anggur
takkan bisa dinikmati sendiri
seperti halnya cinta
masihkah menyala tanpa ciuman.

aku mabuk rambutmu
kau anggur yang selalu buatku mabuk
teduhkan, o, mohonku teduhkan.

aku akan teguk semua anggur
yang membawaku mabuk abadi
sebatang cerutu dan sepiring pizza
dari khilaf pelukmu
yang seluruhnya menggelinjang
demi membuat malam terasa panjang.

gelas-gelas anggur
takkan nikmat dinikmati sendiri
seperti halnya cinta
masih perlukah puisi tanpa ciuman.

tapi seperti gelas-gelas anggur
cinta juga fermentasi;
perasaan waktu dan tenaga

malam yang biru
dari duri dan kedipan alang-alang
di setengah cahaya bulan
dan embun-udara yang selalu menawan.


yailah. kenapa
gelas anggur
takkan bisa dinikmati sendiri?

2025

Kabar Dari Mimpi

Sudah kubaptis nyawa ini
dalam kamar yang diterangi lilin
setengah meleleh,
cahaya gemetar menari di dinding,
menyentuh bahu telanjangmu,
membentuk bayang yang jujur
dari doa-doa kita.

Kau berdiri di ambang malam,
gaun tipis menempel pada kulit basah,
napasmu mengaburkan cermin di punggungmu.
Aku melihat lehermu bergerak pelan,
denyut nadi bergetar di bawah leher,
dan di bawahnya, payudaramu,
tegang seperti doa yang belum dikabulkan,
dengan bayangan bulan jatuh di lekukannya.

"Bacalah aku, sa-yang," tegasmu.

Jari-jariku berjalan sepanjang punggungmu,
menelusuri lekuk yang mengarah ke pinggul,
ke bukit yang naik-turun dalam ritme binal,
ke belahan di mana surga bersembunyi—
tempat embun meresap ke dalam daging,
tempat waktu berhenti untuk sejenak.

"Bacalah aku, sa-yang," pintamu.

Lalu aku mencium perutmu,
di mana kulit terasa seperti kain sutra
yang baru saja disetrika oleh panas tubuh,
dan bibirku bergerak lebih rendah,
ke tempat di mana engkau membuka diri,
di mana gelombang laut bertemu pasir,
di mana kesunyian mendesah
seperti angin
yang tersesat di antara bebatuan.

"Bacalah! ba-calah a-ku, sa-yang," teriakmu.

Kakimu mengapit pinggangku,
tubuhmu terangkat sedikit,
seperti ranting pasrah dalam angin jahat.
Dan di antara helaan napas,
aku mendengar suaramu,
parau, memanggilku seperti
doa yang terlupakan,
seperti nyanyian gereja
yang dinyanyikan dengan ragu,
seperti pengakuan dosa
yang tidak ingin ditebus.

"tap-i say-ang," bisikmu.

Saat kita tenggelam dalam
gelombang yang naik,
ketika tubuh kita menjadi satu mantra,
aku berpikir—
jika ini bukan surga,
maka ia telah jatuh terlalu dekat.

Tapi pagi akan datang,
dan kita akan kembali menjadi asing,
meninggalkan jejak yang hanya
diingat oleh sprei kusut
dan embun di jendela.

2025

Sempurnakan Aku Dengan Tubuhmu

Sempurnakanlah payudaramu untuk hatiku
dan kecupan-kecupan untuk tidurku.
Apa yang mengalir dari puting susumu
akan juga mengalir di mulutku.

Dalam tubuhmu, bibirku terasa maya
aku seperti kelenjar dan selaput darah
--saat kau berikan keabadianmu
aku tenggelam di keindahanmu.

Sempurnakanlah wajahmu untuk hatiku
dan senyuman untuk hari-hariku.
Apa yang kau ucapkan dari bibir manja
akan juga kuucapkan di telaga jiwa.

Aku sering berkata: kau adalah angin
kautelah kukecup dan kupeluk
tapi hatimu masih berwarna hitam.
Angin bertiup ke pohon-pohon khuldi
menggoyangkan sosok dan menggoda sepi
dan, ketika bersedih: angin akan pergi.

Sempurnakanlah vagina merah untuk kepalaku
dan gugusan metafora tua berwarna biru.
Apa yang hidupkan dalam hatiku
akan juga kuhidupkan dalam nyawaku.

Sempurnakanlah tubuhmu untukku
meski kita sama-sama tahu
esok selalu tak menentu!