Kaset Pita

Kaset Pita

Kotak yang mempunyai tali hitam berbahan plastik di dalamnya ini, konon mulai menyeruak dan diakrabi pada tahun 1970-an. Lazimnya, kerap dikaitkan dengan kegiatan bermusik seorang musisi. Karya musik yang telah selesai dalam proses pengolahan dapur rekaman, jika sudah berada didalam kotak itu, maka siap untuk diputar kapanpun dan di manapun.

Jika tidak luput, Jack mulai mendengarnya ketika masih belia, sebelum masuk Sekolah Dasar (SD). Orang yang tumbuh kembang pada awal tahun dua ribuan, dapat dibilang nyaris pernah mendengarkan apa yang disebut oleh orang Prancis cassette ini, yang berarti kotak kecil.

Kala itu, bapaknya kerap memutar kaset. Jack turut hikmat, hanya untuk seperti sang bapak. Mengangguk-angguk, menggeleng-geleng, bahkan berteriak-teriak.
Rupanya, kaset telah menjadi titik berangkat Jack untuk mengenang laki-laki yang kini telah menjadi mendiang. Anak yang mulai menginjak usia dua puluh lima ini, ketika pergi kemakam marhum, selalu membawa pemutar kaset, lengkap dengan headset double bass. Ia tempelkan pada nisan, sebab berpikir, di akhirat tidak ada lantunan musik mbeling karya Remy Sylado, musisi kesukaan sang bapak.

Saat berpindah dari satu lagu kelagu lain, kerap terdapat decit yang dihasilkan kaset, ia mengingatnya laksana erangan sang bapak ketika melihat dirinya selesai mandi pada suatu sore, kala itu. Didapati tinta pada lengan kiri, dengan gambar band favoritnya, Rolling Stone. Lidah menjulur, berwarna merah, seperti selesai makan lolipop. Karuan bapak marah, lekas membawanya ketempat ruqiyah.

Kini era digital yang serba cepat, orang hanya perlu menekan beberapa tombol pada telepon genggam, kemudian dengan segera lantunan lagu yang diharap dapat terputar. Hal demikian menandakan kaset pita tampak tidak efektif, disamping tanda lain, semua orang bisa jadi musisi, bahkan suara mendesah ketika sedang masturbasipun dapat diunggah dan dipublikasikan. Ruang privat menjadi ciut, batas publik dan pribadi makin gemetaran.

Tetapi Jack lain, semakin gila rasa kasmarannya dengan kotak berukuran panjang 8,75 senti meter ini. Saban libur kerja menjadi pengamen di stopan Carrefour, Bandung. Ia selalu menyempatkan diri ke Pasar Cihapit. Bukan untuk mencari kaset Rolling Stone, sebab ia sudah memiliki semua albumnya. Bahkan, ia juga punya rekaman suara Mick Jagger, saat tengah bersendawa, kentut dan mencret. Demikianlah seorang penggemar yang penuh total ini.

Ketika dirinya duduk pada bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), sempat pula ia meminjam kepada seorang kawan yang lebih tinggi status sosialnya—untuk mendengarkan kaset-kaset yang langka. Seperi Frank Zappa, Frank Sinatra, Franck Ribery, tidak, ia pemain sepakbola.

Ia pinjam tidak lain untuk dibajak secara diam-diam. Kemudian cover kaset ia reka sendiri, biasanya dengan gambar vagina, kotoran kuda, atau capung kesetrum. Jack senang hal-hal macam begitu.

Tetapi hari ini bukanlah Jumat, jadwal ia berziarah, atau Minggu; jadwalnya mengakrabi kaset. Hari ini, Senin. Lazimnya pada jalanan tempat Jack mencari nafkah, hari yang disebutkan ini, orang tengah beranjak dari akhir pekan, untuk bekerja. Baik muda, tua, semuanya saling kebut untuk menghindar dari keterlambatan. Tidak jarang terjadilah kemacetan. Jika sudah demikian, usia tidak menjadi pembeda. Semuanya tampak seperti kesurupan, saling meneriaki, tak jarang caci maki. Tetapi di jalan umum ini, setidaknya dalam pandangan Jack, hanya orang berseragam lorenglah yang jadi jagonya.

Pada pukul 06:00 pagi, di stopan itu, Jack sudah mejeng. Petantang-petenteng macam nenek moyangnya sang pemilik jalan.

Tidak pernah terlewat, setelah makan roti yang harganya dua ribu itu, dilahapnya pil koplo yang dibeli di apotik dengan kode: “Suplemen Seniman.” Pikirnya, dengan masuk itu obat kedalam pencernaan, dapatlah membuat kepercayaan diri bertambah. Kepercayaan diri memang perlu, tetapi, alangkah elok jika sepatutnya saja, tidak berlebihan. Pasalnya, berpotensi bikin berabe. Sempat juga menimpa si Jack ini. Suatu waktu, ia lepas kontrol akibat pengaruh pil koplo. Dengan perasaan penuh inklusif, ia bernyanyi dengan telanjang bulat. Berlari-lari dari lampu lalu lintas satu ke lampu lain. Ada empat titik lampu di stopan ini.

Waktu itu, baginya, tidak lain merupakan wilayah artikulatif yang khas dari seorang seniman. Tetapi beda bagi orang lain, setidaknya bagi satpol PP yang tengah berjaga. Dibawanya itu si Jack, dengan keadaan masih telanjang ria, alhasil, karena ulahnya itu, ia di-banned pada dunia ngamen selama dua minggu.
Kini lagu pertama sedang dilantunkannya. Saban ngamen playlist-nya melulu lagu pop. Tetapi jelas beralasan, ini merupakan wilayah adaptif dari seorang musikus. Selera pasar populer, setidaknya yang telah digiring oleh pemodal dengan corak kapitalistik, cukup tidak mudah untuk didekontruksi. Jack ingin berdiri di kaki sendiri, bernyanyi dengan kehendak pribadi, melantunkan referensi yang digemari.

Tetapi apa yang dapat dikata, Jack mesti merasa cukup dengan memainkan lagu-lagu ghalib yang diputar oleh para pengamen. Sebut saja Wali Band, Armada Band, Ungu, Coklat dan kawanannya. Bagi Jack, itu semua lagu cengen dan begitu bikin muak. Dominan bertema cinta, tetapi orang-orang masih bertengkar, membunuh, merampok, berselingkuh. Itulah yang membuat Jack mual, ingin muntah saat mendendangkannya. Baginya, sebuah lagu perlu mempunyai daya interogatif dan reflektif.

“Ibu-ibu, Bapak-bapak, siapa yang punya anak bilang aku
Aku yang tengah malu sama teman-temanku
Karna Cuma diriku yang tak laku-laku
Ku tak laku-laku, woo-o-oh”

Jreng, selesai. Demikian lagu pertama yang dipilihnya dari konser ini, lagu dari grup musik bernama Wali. Penonton yang tengah menunggu perpindahan lampu itu, baik yang sengaja mendengar atau tidak, dua puluh persen bertepuk tangan, tiga puluh persennya sibuk memainkan telepon genggam, sisanya menepuk jidat.

Tentu dapat dibilang wajar bila pendengar merespon demikian, sebab vokalitas seorang Jack memang perlu cita rasa seni tinggi untuk dipahami dan diresapi. Tenggorokannya tidak lain merupakan hasil peleburan antara Freddie Mercury dan kambing bandot. Saat bertemu dengan nada tinggi, suaranya dapat disebut mirip dengan vokalis Queen itu, tetapi jika bertemu nada rendah, nyaris tidak dapat dibedakan dengan bunyi kambing yang tengah khawatir sebab sebentar lagi akan disembelih.

Tibalah kini, lagu Saat Terakhir dari band ST 12 dikumandangkan. Menandakan usainya perhelatan musik dari Jack. Sore terus datang, petang kian menjelang. Hari berubah, tibalah sekarang; kamis.

Kini malam, ngamen dihari kamis selesai, tibalah pada tempat peristirahatannya, rumah. Tubuhnya rebah pada kasur, kepala pada bantal dan tangan yang masih memar karena menekan senar gitar murah itu memeluk satu bantal guling dengan gambar hello kitty.

Arkian, bagi orang yang hidupnya terjadwal macam si Jack ini, kamis pun tidak luput dari agenda rutinannya, yakni open BO. Ihwal tersebut, baginya sangat penting untuk memberi makan libido yang seminggu kerontang sebab diombang-ambing sange. Berhubungan seks, baginya merupakan rekreatif. Maka dari itu tidak pernah ia pacaran, pasalnya, dia mencoba mafhum pikir; itu akan merusak keorisinalitasan cinta yang suci. Alhasil, jasa PSK ia pilih. Dengan niat mulia untuk berbagi rezeki, serta tidak mempunyai tedensi merendahkan cabang kerja yang kerap dapat diskriminasi ini, ia segera langsungkan. Beberapa nomor yang tersedia pada telepon genggam ditekan-tekan oleh jempolnya. Terdengar bunyi “Tutt...Tutt...Tutt.” Tanda memanggil untuk menyambungkan.
“Hallo,” Ucapnya ketika terdapat tanda-tanda telah terhubung.

“Asalamualaikum dulu, kek...”
Jawab dari yang entah itu siapa. Yang pasti dia perempuan, karena Jack seorang heterosex normatif.
“Oke, deh. Asalamualaikum warahmatulohi wabarokatu”
“Tudepoint, deh. Mau tempatnya disitu apa disitu?!”
“Duh, gw lagi mager. Di sini aja deh”
“Tapi ongkos tranfortasinya, kamu yang bayar ya?”
“Itu bisa diatur. Asalkan lu gagah dalam tranformasi gaya aja...”
“Tenang, gue udah terlatih...No anal, ya...”
“Hah? Gak seru banget...”
“Yaudah, cari perek lain kalo gitu....”
Terdengar ketus suara dari jauh sana itu. Jack mencoba melerai, dengan “Oke, sorry. Langsung aja sini. Ini alamatnya: Jalan macan ompong nomor 234. Nanti ongkos dibayar disini, plus bayaran lu dimuka...” Naga-naganya, rencana untuk mematikan panggilan itu urung. Dan terdengar “Oke. Baik juga kamu. Berani bayar sebelum servis...”
“Kata agama yang gue anut, dosa hukumnya membayar pekerja setelah keringatnya kering. Gue gak mau dosa. Lu langsung sini aja. Gw tunggu. GPL, ya...”
Ucap Jack, kini dia yang menutup telepon dengan jempol yang kukunya digambar Dewi Aphrodite.

Rumah warisan dari sang ayah ini berantakannya minta ampun. Tidak pantas disebut mirip kapal pecah, tapi; kamp konsentrasi yang terkena bom atom.
Dengan keinginan untuk bersahaja itu di kediaman, Jack segera menyapu, mengepel, membersihkan kaca, dan membuang jaring laba-laba. Itu semua tidak lain merupakan upaya untuk menyambut tamu agungnya. Ini baru terjadi, sebelumnya, jika ia rekreasi penis, kerap ogah melakukan aksinya dirumah, pasalnya, enggan arwah dari sang ayah yang dicintainya kecewa dan tidak tenang di alam baka. Tetapi entah sebab apa kini lain, mungkin Jack sudah tidak percaya ada hidup setelah mati.

Tuk.tuk...tuk...bunyi dari pintu yang tampaknya diketuk, karuan Jack menghampiri untuk membuka dengan tanpa menduga. Sebab, tidak ada janji temu selain dengan seseorang ditelepon tadi. Betul saja, ini seorang perempuan yang menggunakan kenaan mirip vokalis band berkebangsaan Inggris yang benama Amly and the Sniffers dalam video clip berjudul Guided by Angels.

“Silakan masuk...” Tutur Jack.
“Bayar dulu itu ojek, baru saya masuk. Jangan dzolim sama rakyat kecil”
“Oke, siap. Sayang...” Ucapnya sambil cengar-cengir dibarengi konak yang epifani. Kakinya berjalan kedepan mengarah pada jalan untuk membayar tagihan atas jasa antar. Ia mengambil uang dari saku celana sebelah kanan, kemudian memberikan dengan tangan kanan pula. Berucap “Terima kasih,” tugasnya selesai. Sekarang ia sang pemberi tugas.

“Sorry, kalo nyinggung, lu STW??”
Ucap Jack yang tengah memasukan kaset pita untuk memutar musik dari Paul Dosmond. Keduanya kini sudah berada didalam rumah. Lampu semua dimatikan, hanya disisakan satu, tepat hadirnya di pinggir kasur palembang warisan sang ayah yang banyak bolong sebab rokok. Lampu yang menyala itu menggantung dengan kabel yang lumayan menganggu. Jika dilihat dengan seksama, kedua insani yang tengah berada tepat diatas kasur dan dibawah lampu ini, mirip betul dengan ayam layer.
“Kenapa? Kamu kecewa? Mau di-cancel?” Ucap sang perempuan, ketus, merasa diremehkan. Kemudian melanjutnya “Yang tua yang berpengalaman, jangan anggap usang, saya manusia bukan mesin!”
“Oke. Mohon maaf...”
Pungkas Jack sambil menggabruk, gelagatnya seperti singa yang kelaparan sejak lahir. Terdengar lantunan saksofon dari radio, bermuara atas kaset yang putar, bersahutan dengan bunyi ah-ih-uh-eh-oh dari hubungan fornikasi ini.
Blep, suara kaset pita yang menandakan habisnya putaran. Jack terjaga, perempuan tadi sudah tidak ada di kelambu.

Sekarang sudah hari jumat, seperti biasa, Jack berencana mengunjungi makam sang ayah. Kaset pitapun jangan sampai terlewat sebagai syarat. Setelah mengucek-ucek wajah, pergi ke kamar mandi untuk adus, kemudian mencari kaset yang berisi lagu kesukaan sang ayah.

Tetapi kini perasaanya limbung, apa yang dicarinya tak ditemukan. Karuan curiganya mengarah pada perempuan yang semalam dia perlakukan laksana putri raja, dengan sebutan “sayang.” Tetapi kini yang terdengar hanya umpatan yang bersumber dari konstannya sifat manusia. “Perek ngentot, kaset gue lu embat setan. Upah gw udah kasih diawal, apa kurang? Sialan!!”.

Dengan garizahnya, ia langsung mencari tahu siapa dan dimana sosok perempuan yang semalam memadu cinta naluriah dengannya itu. Dengan kemampuan intelegensinya sebagai pemetik gitar yang terbiasa mengulik cord, alamat dari yang tadi disebutkan, dapatlah ditemukan.

Jack seperti kesetanan, ia merangsek masuk seperti polisi tengah melakukan Operasi Tangkap Tangan. Berangnya tidak dapat ditahan, ia ngamuk, tubuhnya tidak bisa diam seperti bangbarongan tujuh belas agustusan.

“Mana..cepat mana?? “Mana apa?”
“Anjing! Ngaku lu, mana kaset itu”
“Kaset apa”
“Jangan pura-pura polos kaya anak bayi lu, ya. Lu ngambil kaset dirumah gue kan? Mana kaset itu?” “Kaset ini maksud kamu?”
Perempuan ini masuk ke kamar, mengambil kaset pita dan memperlihatkan kepada Jack.
“Ya, ini...”
Seperti jambret di jalan sepi, Jack mengambil dengan cepat.
“Boleh itu buat aku saja?”
“Gak! Ini kaset langka”
“Justru karena itu!!!” Kini mata perempuan ini berkaca-kaca, naga-naganya, beberapa menit lagi akan turun itu cairan asin dipojok matanya. Ia meneruskan “Kaset ini mengingatkan saya kepada suami, konon, dia sudah menjadi marhum. Saya merasa menyesal telah meninggalkannya dahulu. Ah, saya jadi ingat anak saya...”
“Hah?! Kok bisa si? Ibu gue juga ninggalin waku gue kecil. Siapa nama siamu lu?”
“Setyono”
“Hah?!”
Jack kaget bukan alang-kepalang, ternyata perempuan yang dia sebut STW tempo hari itu, tidak lain dan tidak bukan ibunya sendiri. Karuan ia tertunduk lesu, sesak, sakit, sambil berencana untuk open BO kembali.