Kaki Terjerat; Jeda Neraka

Kaki Terjerat; Jeda Neraka

Kira-kira seperti itu ilustrasi saat Sahrul Gunawan (akrab dipanggil Arul) mengabariku lewat aplikasi WhatsApp. Komunikasi tak tuntas yang mungkin karena aku telat membalas dan Arul keburu tidur.

Besoknya secara tidak sengaja kami bertemu di depan GOR Patanjala ISBI-Bandung, aku bertanya maksud pesan teks yang dikirimnya dan Arul menjelaskan bahwa dia ingin mengajakku terlibat dalam sebuah proses garapan: Membantu penataan artistik lakon berjudul “Pintu tertutup” ditulis oleh Jean Paul Sartre, diterjemahkan oleh Asrul Sani dan disutradarai oleh Arul sendiri yang akan di tampilkan tanggal 14 Desember 2022 di studio pentas jurusan Teater ISBI-Bandung sebagai syarat mata kuliah pra TA minat penyutradaraan. Karena waktu itu terburu-buru, aku tidak mengiyakan dan juga tidak menolak tawarannya, aku ingin membaca naskahnya terlebih dahulu dan membayangkan apa yang bisa aku bantu dalam proses garapan tersebut.

29/10/2022 jam 18.22 Arul mengirimi aku salinan naskah yang dijanjikan dan aku membacanya dengan intensitas yang terbata-bata. Seminggu kemudian Arul kembali mengirimi pesan teks kepadaku dengan maksud mempertemukanku dengan Utay (penata artistik) dan Navida (stage manager). Kami pun bertemu di Pendopo Mundinglaya ISBI-Bandung.

Hasil dari membaca setengah isi naskah drama tersebut aku tau akan ada patung perunggu yang dijadikan salah satu elemen artistik, bermodal studi patung yang pernah aku tempuh aku membayangkan pematung Rodin, aku tertarik dan ingin menawarkan diri untuk membantu membuatnya, hanya saja kami tidak sampai pada kesepakatan bersama, kami terlalu asyik membincangkan pemikiran-pemikiran sang penulis naskah yang juga dikenal baik sebagai seorang pemikir modern.

Hari-hari berlalu, Arul, Utay ataupun Nevida tak lagi mengabariku, aku pun tenggelam dalam kesibukan lain. Bisa dibilang aku hilang minat pada proses garapan tersebut, mengingat waktu semakin mepet, sudah terlambat untuk terlibat, bahkan ketika hari pertunjukan dimulai, aku lupa, pacarku mengingatkan dan kami pergi bersama untuk menonton.

Kami tiba di studio pentas teater ISBI-Bandung, aku duduk di barisan belakang, tak ada kursi untuk penonton, kami lesehan beralaskan lantai, sebagian pandangan terhadap panggung terhalang kepala penonton barisan depan.

Suasana saat memasuki studio pentas teater ISBI-Bandung

Sebelum pertunjukan dimulai aku sempat berdiri dan mengintip penataan artistik panggung: Terdiri dari tiga level yang terkesan seperti sebuah piramida (luas pada bagian bawah dan lancip pada bagian atas) sehingga menimbulkan kesan simetris, ditambah bagian kiri kanan yang terdapat kain yang disorot lampu berwarna biru.

Di level bagian atas, ada sebuah pintu yang diberi garis vertikal sehingga bidang terbagi menjadi tiga bagian: kiri, tengah dan kanan. Pada bagian kiri dan kanan, bidangnya sempit diisi dengan garis yang mengesankan sebuah ornamen pintu, pada bagian tengah bidang cukup luas diisi gambar guratif yang mengesankan wajah sesosok makhluk yang abstrak.

Tidak terdapat apapun pada level tengah, hanya difungsikan sebagai sebuah tangga. Di level terbawah (dimana merupakan bidang permukaan yang sejajar dengan tempat duduk penonton) terlihat tiga sofa santai, dua diantaranya berwarna ungu anggur, satunya lagi berwarna merah. Bentuknya tidak seperti sofa yang biasa aku lihat di ruang tamu, cenderung memanjang dan terdapat sebuah bantalan di salah satu ujungnya. Mengingatkanku pada potongan adegan berlatar ruang psikolog di film Nightmare Alley (Guillermo del toro, 2021). Penempatanya lagi-lagi terasa simetris dengan format yang sama seperti garis vertikal pada pintu atau level dan kain: segmentasi kiri, tengah dan kanan. Permainanya ada pada arah sofa tersebut menghadap, cukup bervariasi, sedikit mendistraksi kesan simetris. Juga ada beberapa properti: Pisau kertas di atas permukaan pustek berbentuk kubus berwarna ungu yang diberi aksen garis dwimatra, warnanya hitam. Diatas pustek berukuran sama ada sebuah kepala manekin yang di cat berwarna kuning emas, penempatanya di pojok kiri panggung dekat barisan paling depan penonton. Tak kusangka, itu adalah patung perunggu yang dimaksud Arul dan Utay untuk aku membantu membuatnya, “God damn! Good bye Rodin.” Mungkin Utay (penata artistik) punya intensi pada elemen lain daripada repot-repot bikin patung yang betulan perunggu (atau setidaknya punya sensasi perunggu) dipertunjukan ini.

Respon Garcin pada patung perunggu

Pertunjukan dimulai. Semua elemen artistik yang hadir di dalam penataan artistik mulai mendapat respon dari tokoh-tokoh yang beriringan muncul melalui berbagai dialog atau sikap dalam gerak. Semua tokoh muncul melalui pintu, tak ada akses lain; memasuki sebuah ruangan, sebuah gambaran neraka yang hanya dapat didatangi oleh orang-orang mati, orang-orang tertentu saja. Orang-orang tertentu itu adalah: Joseph Garcin, seorang lelaki beristri asal Rio dan seorang mantan wartawan pro perdamaian semasa hidupnya “Dua belas peluru menembus dadaku” salah satu dialog yang diucapkan Garcin merujuk pada penjelasan bagaimana dia mati. Inez Serrano, seorang wanita, asal dan profesi semasa hidupnya tidak diungkapkan, matinya karena menghirup gas berlebih. Estelle seorang wanita muda dari Paris, istri dari seorang suami, matinya karena radang paru-paru, pneumonia. Terakhir ada seorang pelayan, namanya tidak disebutkan atau barangkali tidak mempunyai nama, tidak jelas juga apakah pelayan ini pernah menjalani hidup di bumi atau tidak, yang jelas tugasnya adalah melayani ketiga orang mati yang dimasukan pada ruang neraka yang sama.

Berbagai konflik terjadi, berhubungan dengan penggalian-penggalian latar belakang semasa hidup ketiga tokoh yang dipicu oleh suatu pertanyaan: Bagaimana mereka bisa ditempatkan bersama? Muncul berbagai petunjuk yang mengarah pada narasi yang dicari, cahaya lampu biru pada kain ternyata dapat berubah warna, dimana berperan dalam penggambaran petunjuk tersebut: di awal pertunjukan, warna cahaya lampu pada kain berwarna biru, hingga (sampai-sampai cukup terkejut) warna cahaya lampu tiba-tiba berubah merah diiringi perilaku dan dialog satu persatu dari ketiga tokoh seakan-akan melihat gambaran kejadian tertentu di kehidupan nyata yang pernah ditinggali.

Garcin melihat istrinya berpakaian serba hitam, berdiri di depan rumah yang seakan-akan menunggu datangnya sosok jenazah dan siap berkabung atas matinya sosok tersebut. Inez melihat sebuah kamar sewa yang kosong dan terkunci dan Estelle melihat sesosok lelaki yang mukanya hancur berantakan. Lalu… Tiba-tiba… seluruh lampu studio mati!!! (Kali ini sangat terkejut).

Aku bertanya-tanya, apakah pertunjukan selesai? Tapi tak ada sambutan tepuk tangan penonton, aku pun ragu untuk bertepuk tangan, hingga beberapa orang di barisan belakang (sepertinya penyelenggara pertunjukan) menginstruksi untuk menyalakan cahaya senter pada telepon genggam beberapa penonton, menimbulkan efek berantai: penonton lain ikut menyalakan cahaya senter pada telepon genggam mereka.

Ketika lampu studio mati dan penonton menyalakan cahaya senter pada telepon genggam

Ataukah sebetulnya ini adalah sebuah pertunjukan interaktif? Jika iya, Lampu senter penonton memaknai apa? menyampaikan realita yang mana? Ataukah, ataukah, ataukah? Aku bingung. Kemudian terdengar lagi dialog para aktor, melanjutkan dialog sebelumnya yang terhenti, lampu studio kemudian kembali menyala seperti memberi kejutan: “Surprise… Selamat kembali lagi di neraka” wkwkwk.

Cahaya lampu senter penonton berangsur dimatikan, pertunjukan dilanjutkan. Jadi, mari kembali pada usahaku untuk menuturkan pandangan atas pertunjukan ini berdasarkan pengalamanku, oke.

Salah satu lampu di studio pentas teater ISBI-Bandung.

Gambaran-gambaran yang dilihat setiap tokoh menjadi petunjuk penting untuk menjawab pertanyaan “Bagaimana bisa mereka ditempatkan bersama?”. petunjuk lainnya, yang juga dapat menjadi salah satu indikasi untuk menjawab pertanyaan itu tentunya adalah watak setiap tokoh.

Inez adalah sosok yang provokatif, intimidatif sekaligus manipulatif. Pembawaanya santai namun siap membludak setiap saat. Argumen-argumennya tegas, diperankan baik oleh Syallom.

Serupa dengan Inez, Garcin juga merupakan sosok yang provokatif, intimidatif sekaligus manipulatif. Argumennya logis yang dalam hal ini selalu mengarahkan asumsi pada pemikiran-pemikiran yang didasarkan pada logika, mengingat tokoh Garcin berprofesi wartawan di masa hidupnya. dimainkan cukup baik pula oleh Reza, walaupun di beberapa potongan adegan, dialognya terlalu terburu-buru.

Kesamaan dengan tokoh Inez dan Garcin, Estelle memiliki sifat manipulatif, dengan keluguan dan kecantikannya. Namun tak nampak kematangan bermain dari Majes, sehingga beberapa kali menurunkan tensi adegan karena kurang cakap dalam merespon lawan mainya.

Estelle, Garcin dan Inez berkonflik disaat tensi pertunjukan memuncak

Ketiga tokoh tersebut memiliki sifat yang sama: Pandai berbohong. Dengan tujuan yang sama: menyembunyikan aib di masa hidupnya, menyembunyikan kejahatannya, menyembunyikan pembunuhan yang pernah dilakukan dimasa hidupnya.

Ih, ngeri.

Pertama-tama aib Garcin terungkap: sebagai seorang suami yang berselingkuh dari sang istri yang baik dan taat, sampai-sampai rela menyediakan dan mengantarkan kopi dan sarapan kepada Garcin dan selingkuhannya kedalam kamar di rumahnya sendiri.

Kemudian Inez: Seorang istri yang berselingkuh dengan seorang perempuan dari sang suami yang dibunuhnya dengan terencana. Inez kemudian membocorkan gas di kamar sewa tempat dia dan selingkuhannya tinggal dan membunuh mereka berdua.

Estelle: Seorang istri yang berselingkuh dengan seorang penari Tango, dari selingkuhanya dia mengandung seorang anak. Suaminya mengira kandungan di badan Estelle adalah anaknya. Estelle tidak suka akan anak yang dilahirkannya dan membunuhnya. Suaminya melihat kejadian ketika Estelle membunuh anak tersebut. Suaminya frustasi dan bunuh diri.

Analisis pada ketiga tokoh di pertunjukan ini sampai pada kesimpulan bahwa tabiat mereka serupa, juga latar belakang semasa hidupnya, kejadian-kejadian yang pernah mereka perbuat: berselingkuh dan membunuh. Mereka berhasil menjawab pertanyaan “bagaimana mereka bisa ditempatkan bersama?” Kejadian-kejadian yang terjadi diantara mereka pun didasari oleh kebobrokan-kebobrokan moral semasa hidupnya; sebuah bentuk representasi pikiran dan mental di kehidupan sebelum neraka.

Pertunjukan ditutup dengan simbolis dan filosofis: Estelle menikam Inez dengan pisau kertas, Inez tertawa dan berbicara kepada Estelle: “Kau gila. Mengapa kau? Kau kan tahu sudah mati” lalu Estelle menjawab “Mati?” seraya menjatuhkan pisau kertas, Inez mengambilnya dan menikamkan pada tubuhnya sendiri “Mati, mati. Pisau, tali, racun – semuanya tidak mempan. Sudah terjadi sebelumnya, mengerti kau? Untuk selama-lamanya. Beginilah kita untuk selama-lamanya.” Inez ketawa, “Selama-lamanya. Ya, Tuhan lucunya.” Estelle juga tertawa. Garcin menanggapi sambil juga tertawa: “Untuk selama-lamanya, selama-lamanya, selama-lamanya” tawa mereka bertiga semakin lepas, lalu mereda, lalu terdengar Garcin menutup: “Ya, mari kita lanjutkan”

Kemudian lampu mati, tak ada lagi cahaya lampu senter telepon genggam penonton yang dinyalakan, yang muncul tepuk tangan, bersahutan. Kali ini pertunjukan benar-benar berakhir.

Tiga hari setelah aku menonton pertunjukan “Pintu tertutup” ini, sepulang dari Pendopo Mundinglaya ISBI-Bandung (kadang aku nongkrong di situ) aku bertemu Utay dan kawan-kawan di GOR Patanjala ISBI-Bandung ( kadang mereka nongkrong di situ), aku mengungkapkan kesan-kesan yang aku rasakan dari menonton pertunjukan itu kepada Utay dan mengajukan pertanyaan: “Tay, naha di tengah pertunjukan lampu studio teh jol pareum? dihaja?”* Utay menjawab:“Heeh eta teh kacabut kabelna gagara si mang Kodel tikosewad hahaha”**, “hahaha” aku ikut tertawa.


*Tay, kenapa di tengah pertunjukan lampu studionya mati? Sengaja?
**Iya, itu tuh kabelnya lepas gara-gara mas Kodel terpeleset hahaha