Ia yang lapar, kenyang, dilupakan, tidak sedih dan pernah dilahirkan
Dengan duduk menghadap jendela yang besar dengan sinar matahari kuning yang masuk melalui kaca, Ia sadar ini sudah siang. Dengan setumpuk pekerjaan rumah, pekerjaan budaya, buku yang perlu dibaca dan pekerjaan universitas yang menanti untuk dikerjakan, Ia malah memilih memikirkan sang pujaan hatinya dan menu makan siang yang nikmat. Ia adalah pria berusia tiga puluh dua tahun. Ia belum menikah dan tidak ingin menikah, Ia belum bekerja dan tidak ingin bekerja, Ia belum makan dan tidak punya uang.
Ia pernah merasa lapar
Ketika hormon ghrelin mencapai otak dan merangsang gerak peristaltik, disitulah saatnya kita merasa lapar. Begitulah menurut sains apa itu rasa lapar. Tapi lapar menurut setiap orang bisa berbeda-beda. Ada yang merasa lapar satu jam sekali, beberapa jam sekali, sehari sekali, berhari-hari dan ada juga yang lapar hingga mati.
Ia pernah merasa kenyang
Dibelinya selada putih, cabai merah, bawang putih, kecap asin, saus tiram dan daun bawang. Ia memotong selada putih tipis-tipis dan direndam dengan air garam. Selanjutnya Ia mencincang cabai dan bawang putih lalu dicampurkan dengan potongan daun bawang, saus tiram dan kecap asin. Selada putih yang sudah direndam, sekarang perlu dicuci dan ditiriskan. Setelah semua bahan selesai disiapkan. Campur semua bahan dan siram dengan minyak panas. Makanan siap disajikan. Namun hanya satu hal yang kurang dari semua hal yang disebutkan sebelumnya. Ia tak tahu apa nama dari makanan tersebut.
Apakah sebuah masakan perlu dinamai untuk bisa menghilangkan rasa lapar? Orang yang menamai masakan mungkin orang yang selalu kenyang hingga Ia punya waktu untuk menamai makanan. Selain itu ada juga orang-orang yang dapat mengingat banyak nama makanan. Apakah orang-orang yang mengingat banyak nama makanan adalah orang yang pernah makan? atau mereka hanya orang yang lapar dan ingin makan? Apakah sebuah nama bisa membuat kita tidak lapar? Atas nama tahu Ia bukan tuhan yang serba tahu.
Ia pernah dilupakan
“Setiap aku ingat apa yang pernah kita lalui bersama, aku tak pernah ingat wajahmu. Aku berusaha mengingat wajahmu. Tapi tak pernah ingat. Tak ada fotomu di ponselku, tak ada fotomu di sosial mediamu. Yang ada hanyalah namamu di ingatanku.” Ujar seorang wanita.
Ia tak pernah sedih. Setidaknya namanya diingat oleh wanita tersebut
“Apalah arti diingat jika esok hari bertemu lagi. Apalah arti diingat jika kita bisa hidup bersama setiap saat.” Jawabnya pada wanita tersebut.
Namun jika Ia bisa berganti wajah setiap kali bertemunya kembali. Apakah sang wanita akan tetap mengenalinya? Apakah mengingat nama saja cukup? Mungkin saja sebuah nama bisa melekat pada beberapa hal. Seperti halnya pisang dalam bahasa jawa adalah gedang dan gedang dalam bahasa sunda adalah pepaya.
Ia teringat cerita ketika ia lahir dan diberi nama
Ia dilahirkan di Kandang sapi, sebuah desa di Kecamatan Jenar, Sragen, Jawa Tengah. Ketika Ia lahir, kedua orang tuanya mengharapkan anaknya menjadi pilot, dokter, insinyur, ustad, presiden, pengusaha sukses dan segala profesi lainnya yang penting banyak uang dan bukan jadi seniman. Dengan setumpuk harapan, diberilah bayi itu nama Ia Ia Aja.
Sungguh benar nama adalah sebuah doa. Sekarang Ia bisa jadi apapun.
Ia bisa menjadi orang yang kelaparan
Ia bisa menjadi orang yang kekenyangan
Ia bisa saja dilupakan Ia bisa tak merasa sedih
Ia bisa menjadi apa saja
Kecuali jadi tuhan