Di Warung Sayur Terpal Biru

Di Warung Sayur Terpal Biru

Interaksi pertamaku dengan warung sayur dengan terpal biru di bagian depannya terjadi ketika aku diundang oleh temanku untuk memasak bersama di kontrakannya. Aku mengantar temanku ke warung sayur ini. Seperti warung sayur pada umumnya, bahan pokok makanan, sayuran, bawang-bawangan, buah-buahan, daging ayam, daging sapi, macam-macam ikan asin hingga sandal jepit tersedia di warung sayur ini. Harganya pun tidak terlalu mahal. Bisa dibilang lebih hemat ketimbang belanja di swalayan yang sejuk oleh AC dan memiliki bau yang berbeda; bau modernisasi. Dari interaksi pertama itu aku memutuskan untuk menjadikan warung sayur dengan terpal biru di bagian depannya ini sebagai tempat belanja bahan pokok makananku sehari-hari.

Hari itu cerah, walau aku lupa hari apa tepatnya. Karena di kepalaku menggumpal seonggok kecemasan yang membuat aku tidak mengikuti pergantian hari. Seonggok kecemasan yang mungkin jika aku telusuri asal-usulnya adalah pekerjaan yang membuat aku dapat menghasilkan uang. Menganggur sudah tidak terasa berbahaya lagi jika kau cukup lama melakukannya, hanya ilusi prospek jenjang karir sebagai perupa yang selalu aku konsumsi bagai substansi pelepas kesadaran penggelitik jiwa yang tiap hari aku lakukan. Berharap dalam bisikan hati: suatu hari aku mati dan kolektor seni tiba-tiba menyadari apa yang selama ini aku yakini memiliki rasa. Ah sial, perjalanan ke warung sayur ini jadi terasa basi kalau aku sangkutkan lagi pada seonggok kecemasan ini. Aku mau masak bersama pacarku, yang jelas hari ini cerah; masakan yang nikmat dapat menggosok dan melunturkan kecemasan yang melekat bagai ketombe di kepalaku.

Kami tiba di warung sayur dengan terpal biru di bagian depannya, keadaannya cukup ramai. Kebanyakan pengunjung warung sayur ini ibu-ibu dan ada beberapa bapak-bapak. Satu atau dua orang bapak-bapak tampak seperti sebuah kontras dalam komposisi ruangan warung sayur yang didominasi oleh rasa feminin yang ditimbulkan oleh ibu-ibu dan warna alami yang ditampakkan oleh sayuran yang dipajang. Para pengunjung cukup berdesakan; memilih, merenungi, meraba-raba dan memutuskan untuk mengambil bahan makanan yang sudah dipertimbangkan untuk mereka konsumsi. Aku dan pacarku melakukan hal yang sama.

Di warung sayur ini dipekerjakan sekitar empat orang pelayan, mereka semua laki-laki dan melayani semua keperluan pengunjung. Saat membayar semua bahan makanan yang sudah dipilih, pengunjung akan berhadapan dengan para pelayan ini. Pelayan akan menyortir kembali bahan makanan pilihan pengunjung dan mengkalkulasikan harganya. Proses ini cukup lama karena jumlah pelayan dan jumlah pengunjung kadang tidak seimbang, seperti yang terjadi saat kami hendak membayar bahan makanan yang telah kami pilih. Keadaan tiba-tiba menjadi lebih berdesakan karena pengunjung lain pun hendak membayar, aku memutuskan untuk membiarkan pacarku yang melakukan transaksi bayar dan menunggu di bagian depan warung sayur.

Di bagian depan warung sayur ini, tepat dibelakang terpal warna biru yang dibentangkan sebagai penghalang panasnya sinar matahari ataupun percikan air hujan. Dipajang berbagai macam buah-buahan dan beberapa beras kemasan per lima kilogram. Aku menunggu; berdiri memandangi deretan berbagai macam buah yang aku sukai namun tidak aku beli. Di sampingku ada seorang ibu-ibu berpenampilan cukup rapi dengan baju berwarna kuning sedang mengambil satu kemasan beras. Ia melirik dan tersenyum kepadaku, aku membalas senyumannya. Biasanya di bagian buah-buahan ini ada satu pelayan yang berjaga untuk melayani transaksi, namun saat ini ia sedang berada di bagian dalam untuk melayani pengunjung yang lain. Aku pikir ibu-ibu itu hendak membayar beras yang baru saja ia ambil, tetapi ia berjalan melewatiku ke arah luar warung sayur sambil menebar pandangan: tiga kali lirik kanan-kiri dan ia pun pergi meninggalkan warung sayur dengan satu kemasan beras lima kilogram di pelukannya.