Yaum Gelap Nyawang

Menenteng kepala kerbau
disaat penduduk lereng tertawa risau.
Aku dan kau,
dahulu di atas kerbau ini,
mata, selalu tak sanggup
bergelinang sudah bertetesan,
pada ubun-ubun kerbau malang ini.

Dalam keadaan yang menipu,
penyihir seberang tangannya menyentuh dinding langit.
Langitpun mendapatkan tugas murka:
"Buat badai sebesar-besarnya!
Lantas jangan beri jeda pada setiap detiknya."

Kerbau pemberani beri tahu aku mengapa kau menundukkan kepalamu?

“Tidak kau tahu wahai manusia?
Amarah ini disebabkan akalmu,
kehancuran ini disebabkan penyakit hatimu,
dan apa yang terjadi sekarang yaitu dirimu sendiri.”

Maka manusia
segera lahir!
Hari di mana waktu hampir tersayat,
sandarkan tubuhmu pada pohon menteng itu,
oh rakyat!
Para ahli pandai sangatlah tidak berguna,
hari ini,
semua makhluk harus belajar mempelajari dirinya,
kecupan angkara dari selera pembangkang.

Makhluk hamba,
ketiadaanmu di tempatkan pada ruang-ruang tersembunyi,
menjelajar dengan penuh rasa hati-hati,
sementara kekhawatiranmu bagai pertahanan diri.

Air menyala terang,
ekspresi gerakmu,
mengkhianati apa yang sebelumnya kau yakini.

Haram jadah

semua anak haram jadah,
semua ibu menengadah,
semua bapak berkepalah.

Anjing-anjing menyeramkan patah taringnya,
yaum ini pada akhirnya hanya untuk memahami;
kebebalan,
ketakutan,
dan kecupan angkara yang sebelumnya terbentuk,
menggunakan isi tengkorak lembek dan tak berdaya.