Tinah

Tinah bukan sekedar nama, ia adalah sebuah bencana yang berjalan sambil memakai selimut. Orang-orang di komplek A tidak akan pernah melupakan perempuan satu ini, bukan karena kebaikannya, tapi kegilaannya. Baru pindah, sudah membuat kegaduhan saja. Suaranya melengking bagai alarm kebakaran yang rusak, kadang menggangu tidur para pensiunan yang damai di perkomplekan A. Warga sering berbisik-bisik, “Suaminya tak pernah terlihat.”

“Istri kurang dimanja suami,” celetuk salah seorang ibu, menimpal dengan nada sinis.

Suami Tinah, Agus memang sosok misterius. Dari informasi Pak Deden ketua RT setempat, Agus merupakan seorang manajer di sebuah bank ternama yang selalu sibuk dan rutin melakukan perjalanan keluar kota. Makanya ia jarang pulang kerumah. Tapi sebagian lain menduga “Siapa yang betah punya istri seperti Tinah?” Mungkin Agus memang sibuk, atau ia hanya mencari alasan untuk melarikan diri dari istrinya, Tinah.


“Dia sudah gila! Dia itu gila, Tinah sudah gila!” teriak Lastri histeris, tubuhnya gemetar di depan pintu rumahnya.

“Kenapa Lastri? Ada apa?” Pak Deden, ketua RT, mencoba menenangkan Lastri.

“Pak RT! Tolong saya! Tinah sudah gila!” Lastri menunjuk ke dalam rumahnya, jari telunjuknya bergetar.

Lastri terus berteriak, mengulang kata gila berkali-kali. Entah apa yang sebenarnya yang telah terjadi padanya. Lastri telah membuat warga komplek A panik dan kebingungan. Ada yang bertanya, ada yang mencoba masuk, tapi Lastri terus menghalangi dengan tangisan.

“Kenapa denganmu Las? Kenapa kau bilang Tinah gila? tanya seorang ibu-ibu.

“Bu Mar! Tinah sudah gila, ia masuk diam-diam ke rumahku dan mengintipku mandi!” seru Lastri.

Sontak saja, perkataan Lastri membuat seluruh warga terpengah. Di samping itu Pak Deden yang sudah muak dengan drama Tinah, segera masuk ke dalam rumah Lastri. “Tinah? Apa yang kau lakukan di sini?” suaranya tegas, tapi Tinah tak peduli.


Jauh dari semua kekacauan ini, sosok Tinah diketahui sebagai seorang perempuan yang “terlalu pintar” untuk dikatakan waras. Lulusan S2 konsultan, berumur 26 tahun tapi sungguh egonya setinggi monas. Sebelum kedatangan perempuan ini, Komplek A bak sebuah surga, dengan 10 rumah yang dicat hijau seragam dan pemandangan jingga senja yang menenangkan. Semuanya begitu harmonis dan damai. Lalu, datanglah Tinah. Atmosfer yang tadinya sejuk itu berubah menjadi bara api panas. Tanah-tanahnya seakan mengamuk dan memanas bila dipijak, seolah-olah alam pun ikut protes dengan kehadiran Tinah. Kemudian berbagai drama tak masuk akal hadir dan menjadi hidangan sehari-hari di meja makan para warga.

Dua minggu sebelum kegilaan malam itu, Tinah sudah membuat sensasi. Di suatu Jumat, ia melaporkan Lastri tetangganya ke Pak Deden karena terusik dengan kelakukan Lastri yang suka mandi di waktu subuh. Seolah-olah mandi subuh adalah tindakan kriminal.

“Bodoh! sudah suami honor masih saja mau bunting!” ejek Tinah dengan wajah penuh amarah.

“Tak ada yang salah, Tinah. Biar aku bodoh, tapi bisa menumbuhkan kasturi di perutku ini, daripada pintar tapi tak bisa membuat apapun tumbuh. Bahkan menumbuhkan kaktus saja di gurun tandus kau tidak bisa, kan?" balas Lastri.

Telinga tinah bagai disambar petir. Wajahnya langsung berubah pucat. Ia kemudian diam membisu, lalu pergi bagai burung yang enggan kembali. Pak Deden hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Mengurus Tinah sama susahnya dengan meluruskan benang kusut. Ia mencoba menasihati Tinah agar tidak mencampuri urusan rumah tangga Lastri, tapi bagi seorang konsultan sekelas Tinah, nasihat Pak RT tak lebih dari omong kosong.

Waktu di rumah, di balik jendela. Tinah merenungi perkataan Lastri. Wajahnya penuh amarah dan kesedihan tetapi lekas-lekas ia simpan. Ia tak ingin Agus tahu. Agus membenci istri yang manja dan cengeng. Tinah harus bersikap sempurna, ia harus tetap terlihat cantik dan idependen. Itulah tiketnya agar Agus bisa pulang. Tinah tak mau ketahuan menangis, barangkali hal ini akan menambah hari di mana suaminya tidak pulang lagi.

Agus begitu mencintai perempuan yang cantik terlebih yang memiliki pinggang ramping. Rusak sudah kebagiaannya jika lingkar pinggang kepunyaannya itu rusak. Mungkin ini alasan mereka berdua mendukung fenomena childfree yang bertebaran di sosial media itu, atau ini hanya alibi Agus untuk fetish yang ia sembunyikan selama ini. Ia tak mau kehilangan visual indah itu.

Tinah mempunyai itu semua, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia iri dengan Lastri yang bodoh, miskin dan berbadan gempal itu. Lastri justru mendapatkan cinta sejati oleh suaminya, Purnomo. Sedangkan Tinah, yang berlagak sempurna, tak pernah mendapatkan kasih sayang sedalam itu dari Agus.

Tinah memang sudah punya segalanya, tetapi kisah rumah tangganya dengan Agus memiliki beberapa permasalahan. Sehari sesudah mereka pindah ada sebuah kebenaran yang menyebabkan Agus tak pernah pulang ke rumah lagi.

Waktu itu coba saja Tinah tak mengungkapkannya, mungkin Agus masih tetap berada di sisinya saat ini. Namun, apa daya nasi sudah jadi bubur, yang mati tidaklah bisa dihidupkan kembali. Maka untuk mengisi kesedihannya itu, sesekali Tinah berkhayal Agus datang dan tidur di sampingnya tiap malam.

Tidak, Tinah tak berkhayal, itu memang Agus, tiap malam sekitar dini hari Agus selalu datang menemui Tinah, menemani perempuan itu tidur. Kadang sesekali Tinah merasakan Agus melumat bibir kecilnya. Tapi Tinah merasa ada yang tidak beres, bibir Agus dingin. Dan setiap pagi hari, ketika hendak bangun, Tinah melihat ke arah kiri dan kanan kasurnya, Agus suaminya itu sudah menghilang. Tapi Tinah yakin, suaminya itu akan datang kembali malam besok.


Di suatu pagi yang cerah, Tinah melihat Lastri muntah-muntah. Wajahnya seketika pucat, lalu digantikan amarah. Ia menghampiri Lastri dan menyerangnya dengan kata-kata.

“Jadi perempuan jangan mau disetir suami, hamil kan? Ekonomi belum stabil tapi mau nambah lagi? belum lagi kebiasaan suami, barangkali di luar sana jajan, gugurkan saja janin itu!”

Lastri kaget mendengar perkataan Tinah, kemudian telapak tangan Lastri mendarat di wajah Tinah. Tinah tak habis pikir, nasihat baiknya malah dibalas dengan tamparan. Pada saat itulah Tinah berlari ke rumah pak Deden, melaporkan Lastri.

Sepanjang jalan menuju rumah pak Deden, air mata terlihat mengambang di mata Tinah, ia tak habis pikir Lastri yang kolot itu bisa hamil lagi. Lastri selalu melawannya, padahal Tinah berusaha menyelamatkan Lastri dari serangan psikologis yang barangkali akan menerkamnya suatu hari.

“Gila sudah, Pak Deden, gila!” teriak Tinah.

“Apanya yang gila Tinah?” Pak Deden bertanya, sudah lelah dengan drama yang tak berunjung.

“Lastri, Pak! Dia menampar saya!”

Pak Deden bingung, Tinah melaporkan bahwa dirinya telah ditampar Lastri. Pak Deden kemudian berusaha menenangkan Tinah dan mengajak Tinah ke rumah Lastri untuk menyelesaikan masalah tersebut. Sepanjang jalan pak Deden memikirkan kenapa dua perempuan ini tidak bisa akur sebagai tetangga.

“Begini Pak Deden. Tinah datang kerumah saya, bilang saya harus menggugurkan janin saya. Katanya saya sudah punya anak empat, dikira saya dan suami tidak bisa mengurusnya!” jelas Lastri.

Pak Deden kembali bingung, Tinah sudah keterlaluan dalam mencampuri urusan pribadi rumah tangga orang lain. Pak Deden tak habis pikir dengan perilaku Tinah ia kemudian menyarankan Tinah pindah ke rumah di ujung komplek, di mana ia tak perlu lagi berinteraksi dengan Lastri. Tapi Tinah menolak, ia tidak mau.

Mendengar itu semua pak Deden mengambil sikap tegas, ia memberikan peringatan kepada Tinah. Jika Tinah tidak mau pindah ke rumah ujung maka ia harus pergi dari komplek ini. “Kalau kau tidak mau pindah, kau harus pergi dari komplek ini. Kelakuanmu sudah meresahkan warga, Tinah!”

Tinah kemudian pergi dan berteriak kalau warga komplek A sudah gila dan tidak waras semua, “Orang kolot semua!” Tinah berpikir ia harus menyadarkan Lastri kalau tidak bayi yang tak berdosa itu akan mendapat kemalangan.


Pada malam itulah Tinah menyusup ke rumah Lastri. Ia membawa obat penggugur janin. Tinah berencana memasukkannya ke galon air di rumah Lastri. Ia ingin “menyelamatkan” bayi itu.

“Dasar perempuan gila!” Pak Deden membentak.

“Tinah! kau sudah keterlaluan! kami tak mengerti jalan pikiranmu bisa sejauh ini. Kau berani masuk ke rumah orang dan berencana meracuninya! Sungguh gila kau!” seru seorang warga.

“Baiklah jika kau tidak mengalah Tinah, maka kami yang mengalah. Kau tinggallah di sini semaumu. Aku dan keluargaku saja yang pergi dari komplek ini,” kata Lastri.

Semenjak malam itu, Lastri pergi dari komplek A, dari kepergian Lastri beberapa hari kemudian warga yang lain juga ikut menyusul pindah, sampai akhirnya hanya Tinah yang tersisa di komplek itu. Ia selalu termenung di balik jendela rumahnya, ia kadang menangis. Sesekali dirinya terlihat seperti menggendong seorang bayi. “Lastriku sayang” rintihnya.

Nama bayi Tinah. Bayi yang ia bunuh setahun lalu demi membahagiakan suaminya Agus. Tapi saat mereka pindah ke perkomplekan itu, Agus mengetahui bayi yang tak diinginkannya tersebut telah dibunuh Tinah. Agus syok, ia kemudian menceburkan diri ke laut yang tak jauh dari perkomplekannya. Tubuhnya telah membusuk dimakan makhluk dan tulangnya barangkali telah bersatu menjadi rumah ikan-ikan. Mati begitu saja, tak kunjung pulang ke rumah sampai sekarang.

Sebenarnya waktu Tinah berteriak dan membuat keributan, ia bukan bicara pada warga, tapi pada bayangan Agus. Tinah memang gila, tapi tidak seberapa gila jika dibandingkan dengan tragedi yang ia sembunyikan.