Tamu Asing

Tamu Asing

Malam ini, aku kembali membaca catatan lamaku. Lembaran demi lembaran membawaku kepada lautan ingatan yang tak bermakna. Tanpa sadar, aku sudah terlalu tenggelam pada kenangan usang menyerupai mayat para patriot naif yang bergelimpangan di tengah rel kereta api. Ahhh, rasa-rasanya ingatan itu tidak diperlukan lagi dan sepertinya harus segera dibuang pada ketiak peradaban gila yang sudah lama kutinggalkan.

Kini aku berada dalam sangkar yang membosankan. aku hanya menghabiskan nafas dengan menari tanpa irama menunggu kematian dunia. Di tengah kesia-siaan ini, ketukan pintu kembali berbunyi setelah ribuan tahun tidak terdengar. aku segera menghentikan tarian lalu membukakan pintu untuk mengetahui siapa yang mengunjungiku. Lihatlah, akhirnya aku kedatangan tamu. Ia berwajah datar dengan mata yang terlihat telah hilang dari tempatnya. Baju yang lusuh dan keringat yang membanjiri tubuhnya cukup membuatku menduga jika ia datang dari tempat yang sangat jauh. Sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, aku langsung menyuruhnya untuk masuk. Aku tidak memiliki apa-apa untuk disuguhkan kepada tamu asing ini, yang tersisa hanya sepiring sepi yang kucuri dari kerumunan manusia dan sepotong takdir yang dilumuri jamur. Setelah melahapnya ia memberitahu alasan atas kedatangannya.

"Aku datang dari tempat yang jauh, aku telah melakukan perjalanan 1074 tahun untuk menemuimu.
Ikutlah denganku, ikutlah denganku! Sebelum menemuimu, aku telah bertemu denganmu yang berjumlah ratusan itu, dan aku salah satunya. Aku membawanya untukmu. Kamu adalah saudaraku, kamu adalah spesiesku, kamu adalah jenisku".

Aku hanya memperhatikan wajahnya yang kian meredup tertanam kegelisahan tiada akhir. Dengan berbusa ia melanjutkan perkataannya.

"Mereka telah tersimpan pada tubuh bagian belakangku, dari si pria yang gemar berjalan di tengah cahaya keruh sampai si wanita yang sering mengenakan gaun berwarna muram. Aku telah membawa mereka untukmu! Aku telah membawa kamu untukmu."

Tamu asing itu mengeluarkan ratusan mayat dari pori-pori tubuhnya untuk diperlihatkan kepadaku. Sambil menunjukan ekspresi wajah yang tidak pernah kulihat sebelumnya, aku melihat tamu asing itu seperti tertawa dan menangis secara bersamaan.

"Kamu adalah aku! sama sepertiku! Ikutlah denganku menuju lembah tanpa nama! Di sana terdapat hamparan rumput berwana darah yang tumbuh di atas pemakaman para dewa.”

Aku terus memperhatikan tamu asing itu. Lalu meminta ia untuk melanjutkan ocehannya, ia kembali mengoceh.

"Aku akan membawamu ke sana; ke tempat asalku! Di tempat asalku: selain terdapat hamparan rumput yang berwarna darah. Di sana kamu tidak akan merasa lapar dan kenyang, bahagia dan sedih, hidup dan mati. Telah kulemparkan segalanya pada ujung lambungku. Aku melakukan itu demi menyambutmu kembali ke tempat asalku; tempat asalmu! Aku telah membunuh negara yang membuat pagar menjadi penjara impianmu!
Aku telah membuang Tuhan lama yang tersimpan dalam plastik klip zipper yang selalu dikonsumsi sebagai pengganti sabu yang harganya selangit itu! Aku telah memenggal kepala seorang nabi yang mengutukmu sebagai ablasa liar tak terkendali! Aku telah menghunus kebencian pada dominasi masyarakat yang menganggu laju sel darahmu! Telah kuludahkan liur busuk pada mayat mereka lalu kusirami diri dengan dosa besar yang mengalir dari mata air menuju air mata. Kulakukan semuanya demi dirimu, untukmu wahai malaikat kebebasanku!".

Setelah ia memuntahkan seluruh isi kepalanya, aku menariknya keluar dari sangkar membosankan menuju lautan moke. Lalu mengajaknya menari liar untuk menghabiskan waktu dengan semena-mena. Setelah ia menyetubuhiku dengan begitu buas, aku sempat berpikir: mungkinkah ia adalah aku? Adalah saudaraku? Adalah kekasihku? Adalah jenisku?

****


“Di tengah lautan moke. Aku merayakan semua dengannya; atas semua bentuk kegagalan; atas dunia yang mulai sekarat; atas masyarakat yang membusuk.”

Ketika lautan moke tempat kita menari telah menjadi kering dan menjelma gurun pasir: ia merebahkan tubuhnya lalu tertidur lelap. Kiamat menelanjangi dirinya sendiri. Matahari tak menunjukkan terangnya lagi dan bulan telah menjadi nisan bagi semesta. Inilah waktunya. Aku tidak bisa lagi diselamatkan. Tetapi sebelum semuanya terjadi, aku menyimpan secarik kertas tepat di sebelah tubuh tamu asing yang sedang tertidur itu. Aku menuliskan jawaban atas semua omong kosongnya:

Untukmu, tamu asing.

Aku bukan apa-apa; aku tidak sama sepertimu; aku bukan apa yang kamu sebut sebagai spesies atau jenismu. Aku bukan apa-apa; aku hanya apa-apa yang kamu konsepsikan. Tetapi aku; bukan apa-apa.