Pramoedya Ananta Toer: Definisi dan Keindahan dalam Kesusasteraan

Susah orang bisa didikte begitu sadja bagaimana definisi kesusasteraan, apabila ia sendiri telah bergerak dilapangan itu. Perkembangan djiwa serta penemuan-penemuan jang didapatnja dari pemikiran, ini akan berpengaruh besar pada seseorang dalam menghadapi pengertian-pengertian. Setjara klasikal orang dapat mengatakan : kesusasteraan adalah suatu keseluruhan tjipta manusia baik dalam prosa atau puisi untuk mengutjapkan sesuatu keindahan. Tetapi bila orang telah meninggalkan bangku sekolah, ia akan ragu dengan pengertian-pengertian tentang keindahan jang telah diterimanja diwaktu-waktu jang lalu. Dan lagi hanja keindahan sadjakah jang akan diutjapkan oleh kesusasteraan ? Ini tidak boleh djadi.

Dalam hidup ini begini banjak perhatian manusia, dan bukan keindahan melulu. Dan apakah keindahan ? inipun mengandung pengertian jang meragukan. Keindahan taklah bisa dijakinkan pada seseorang dengan kata-kata sadja, karena ia soal perseorangan. Ia adalah wudjud dari ke-subjektivitet-an manusia, kalau boleh dikatakan setjara extreem. Dan sungguh, memang ada garistengah jang dinamai ukuran normal dalam mengenal keindahan. Tetapi bukanlah lagi suatu kedjudjuran bila seseorang harus mati sampai pada ukuran normal itu. Tiap orang berhak berdjalan lebih djauh dari ukuran normal itu. Orangpun ada hak melompatinja asal ada tenaga padanja jang tjukup untuk itu. Pertjobaan untuk melompati dengan tenaga jang tak tjukup sungguh suatu pertjobaan jang membahajakan, bahkan akan membingungkan diri dalam perkembangan-perkembangan selandjutnja.

Sekali lagi, dalam hidup manusia ini bukanlah keindahan melulu jang penting. Definisi tersebut diatas njata benar pantjaran dari kedjajaan djaman romantik. Dalam perkembangan kesusasteraan dewasa ini ia punja funksi dan daerah jang lebih besar serta subur daripada keindahan melulu. Keadilan, kemanusiaan, kesusilaan bahkan kebangsaan tak djarang diutjapkan oleh kesusasteraan dengan kejakinan jang penuh diluar segala jang dinamai keindahan. Kesusasteraan bukan lagi merupakan njanjian. Memang tak djarang orang mengatakan, bahwa semua itu ter-masuk keindahan. Dan bila demikian halnja, dimana lagi tempat- nja pengertian-pengertian itu dalam bahasa manusia?

Orang bilang, keindahan jang dimaksudkan adalah harmoni jang tumbuh dalam tjiptaan itu. Inipun tidak tepat, karena keindahan bukanlah harmoni dan harmoni pun bukan keindahan. Harmoni adalah kesewadjaran tjipta diatas bumi ini. Ini turut serta dengaa semua tjiptaan — baik oleh manusia maupun oleh alam itu sendiri.

Sungguh, dalam kesusasteraan orang hanja punja satu pemilihan : keindahan atau kesusasteraan itu sendiri. Dengan keindahan sadja orang akan terkatung-katung antara segala-galanja. la djadi kurban pantjaindera jang tak luput dari kesalahan kerdja. Dan keindahan-keindahan itu adalah negatif, tak berdjiwa, bila tidak dialirkan kesesuatu tudjuan dalam sesuatu wudjud jang tertentu. Dalam kesusasteraan ia hanja merupakan bahan, tiada berbeda dengan bahan-bahan seorang pengarang jang lain-lain lagi. Keindahan tak punja hak untuk memaksa kesusasteraan untuk meluluskan segala permintaannja. Dengan ragam-rampai kemasarakatan jang begini banjak ini, keindahan hampir-hampir tak mendapat tempat jang utama seperti dahulu. Ia bukan lagi suatu vitalitet jang menentukan seperti dahulu, semasa maharadja-maharadja kuasa membangunkan istana jang indah-indah diatas kesengsaraan dan bangkai rakjatnja. Ia mendjadi hal biasa seperti beras dan air dan tanah dan udara dengan segala machluk didalamnja.

Pemudjaan pada keindahan tak berbeda dengan segala matjam pemudjaan jang lain-lain. Ia adalah suatu pelarian, karena orang tak tahu lagi mengenali funksi dan gunanja.

Sebaiknja kesusasteraan ini diterima sebagai adanja, terlepas dari definisi-definisi jang didiktekan. Pergaulan jang lebih erat dengannja lambatlaun akan memberikan definisinja sendiri padanja sesuai dengan ketentuan-ketentuan jang ditemuinja dalam pergaulannja itu. Dan definisi jang diperoleh itu kemudian akan djadi pegangan dalam perkembangan-perkembangan selandjutnja.

Bitjara-bitjara tentang kesusasteraan, lebih baik motif keindahan ini disampingkan dahulu. Kesusasteraan sebagai pentjiptaan keindahan adalah definisi sempit jang dipaksakan pada sesuatu jang hidup dan bergerak. Kesusasteraan bukanlah barang mati. Ia hidup dalam alam rohani pembatjanja. Terutama setelah ia mendapat perkembangan-perkembangan lebih landjut kata keindahan itu terdorong kebelakang. Realisme pahit tidaklah menjodorkan keindahan pada seseorang, tetapi kenjataan jang harus ditelan mentah-mentah. Dalam karangannja Black Boy Richard Wright orang bisa mengenali betapa takut itu mengamuk sonder dibarengi oleh keindahan setitikpun. Pembatjanja akan dibuat menggigil karena kesadaran akan bahaja genocide. Keindahan jang banjak diteriakan orang tak muntjul-muntjul dalam kalimat-kalimat jang dipergunakannja. Tidak ! Dan realisme sematjam ini dengan bergandengan tangan dengan naturalisme, dengan psychologisme, dengan surrealisme dan sebutlah penamaan-penamaan lain jang timbul belakangan ini merupakan rantai jang kuat dalam kepungannja terhadap definisi tersebut diatas.

Dan sesugguhnja, keindahan dalam kesusteraan adalah soal tangkapan pembatja.

Memang, kesusteraan datang dari basa Sangkrit ke-sastera-an, jang mana su berarti lebih (dalam arti indah, baik, berfaedah) dan sastera berarti huruf, buku atau undang-undang. Dan tidaklah salah rasanja bila orang terus menganut faham, bahwa kesusteraan adalah hasil pentjiptaan keindahan jang ditulis atau jang mempergunakan kata-kata. Tetapi soal jang tak selajaknja harus dilupakan ialah: istilah selamanja bergeser-geser menurut waktu dan tempat dan orang atau gerombolan orang jang mempergunakannja. Kalau didjaman dahulu sebutan pudjangga adalah luhur dan diperuntukkan seseorang jang bidjaksana dalam segala lapangan dan menguasai lapangan seni terutama filsafat hidup, berbudi dan pengampun, sekarang ia mendjadi sebutan biasa buat pengarang. Dan sebaliknja kata kaki atau jang berhubungan dengan itu mendjadi gelar atau sebutan jang paling mentereng, seperti : duli, sampean, tjokerde, paduka, gamparan dan sebagainja. Dan karena kesusteraan adalah seuatu jang hidup, djadi ia punja perkembangan sendiri dan bisa menjimpang dari pengertian tadi-tadinja jang dikenakan padanja. Djadi tentang pergeseran istilah, ini tak terdjadi digelanggang kesusasteraan sadja, tetapi djuga disegala lapangan.

Sungguh benar, bahwa kesusasteraan adalah salahsatu tjabang kesenian. Malah kesusasteraan berhubungan rapat dengan tjabang-tjabang kesenian lainnja. Kadang-kadang begitu rapat hingga seorang seniman merangkap dalam berbagai tjabang seni dengan satu pengutjapan. Jean Cocteau misalnja, selain seorang pengarang jang terkenal djuga seorang sutradara jang dikenal, djuga seorang dramaturg, djuga seorang pelukis, djuga perentjana mode. Rosihan Anwar selain pengarang djuga pemain sandiwara. Trisno Sumardjo selain pengarang djuga pelukis, dan begitu pula Zaini, Sudjojono dsb. Dan seni ini tidak sadja berarti jang indah, tetapi djuga jang halus.

Seniman bukan sadja segolongan manusia jang berperasaan halus, punja perabaan tadjam terhadap keindahan, tetapi djuga terhadap keadilan, kemanusiaan, keiibaan dan lain-lain jang susah bisa teraba oleh segolongan besar manusia jang tumpul perabaannja. Njata bahwa seni bukan berarti dramaturg jang indah. Karena itu pula kesusasteraan sebagai tjabang ketjil dari kesenian pun membawa pengertian seperti itu.

Purisme, jakni aliran dalam kesusasteraan jang dapat dikatakan setengah reportase dari sesuatu kedjadian atau setengah pemotretan, mempergunakan bahasa sipelaku sendiri dengan tekanan-tekanan jang diberi interpunksi, dengan gerak dan keadaan serta suasana jang chas, adalah tantangan jang langsung terhadap keindahan jang diharuskan. (Purisme boleh dikatakan konsekwensi jang lebih landjut daripada realisme), dan dengan sendirinja sadja hasil kesusasteraan demikian susah untuk bisa diterdjemahkan dengan baik. Atau boleh dikatakan ia adalah hasil kesusasteraan jang dilokalisasikan ragam-rampainja).

Dan keindahan dalam kesusasteraan pun punja pengertian sendiri-sendiri pada tiap-tiap pengarang, Graham Greene dalam essaynja tentang James mengatakan, bahwa keindahan terachir dari tjerita-tjerita terletak dalam belaskasihan : The poetry is in the pity. Dan Steinbeck dalam Tortilla Flat mengatakan, bahwa keindahan sesuatu tjerita terletak demikian rupa, sehingga tjerita itu sendiri tidaklah selesai, tetapi jang menjelesaikan ialah pernbatjanja dengan fantasinja masing-masing. Dan banjak orang berpendapat, bahwa keindahan sesuatu tjerita terletak pada fragmen-fragmennja jang mengandung penemuan-penemuan dan pemasakan-pemasakan baru dari sesuatu hal jang mengharukan.
(Dan haruan ini adalah soal jang subjektif benar). Berbagai pendapat tentang estetika dalam kesusasteraan ini sesungguhnja tidaklah terletak pada teori jang dihasilkan oleh pemikiran, djuga bukan suatu akibat dari kekuasaan teknik seseorang pengarang jang direntjanakan sebelumnja. Keindahan adalah soal jang empiris benar. Ia hanja dapat dikenal bila sudah ada. Pergaulan jang banjak dengan kesusasteraan dengan sendirinja sadja akan membawa seseorang pada keindahan-keindahan jang bisa dikenalnja. Dengan buku penuntun orang hanja mendapat teori, dan masih susah ia dapat menghargai sadjak-sadjak Chairil misalnja. Ternjata benar bahwa dapatnja menghargai ini terdjadi karena banjak bergaul dengan hasil-hasil persadjakan. Pergaulan ini walaupun bukan satu-satunja djalan, toh salahsatu djalan jang effektif benar.

Sekali lagi tentang definisi kesusasteraan ini sebaiknja diserahkan pada orang-seorang. Biarlah guru-guru dan kamus-kamus membuat definisinja sendiri-sendiri. Kebebasan untuk mendapatkan definisi sendiri mungkin bisa dapat menghindarkan seseorang dari kebekuan, dan sebaliknja memberikan dinamik untuk bergerak. Sekalipun demikian, perabaan jang tadjam dalam membeda-bedakan antara hasil kesusasteraan dan tidak memang patut dipunjai. Dengan tiada ini memang membahajakan kebebasan mendapatkan definisi ini. Dan kemudian orang mendapat kejakinan atau sesuatu buku itu merupakan entertainment atau hiburan atau sesuatu buku itu merupakan hasil kesusasteraan jang mengajakan rohani pembatjanja.

Sumber: https://archive.org/details/pramoedya/Pramoedya%20_%20Definisi%20dan%20Keindahan%20dalam%20Kesusasteraan%20-%20%40bebaskanbuku