Menari

Sore di sebuah trotoar kota kecil yang sibuk, Adnan menghentikan langkahnya setelah ia tiba di pusat kerumunan asing yang memucat dan gemetar.

“Waktunya telah tiba,” kata Adnan dalam hatinya riang.

Para ibu menceraikan bayinya tanpa sebotol asi dan setetes asa. Kekacauan meledak hebat dalam janin kehidupan. Tubuh Adnan tiba-tiba bergerak sendiri—menari—mengikuti alunan bising klakson dan teriakan manusia yang gelisah. Ia menari bebas tak beraturan. Senyuman yang nampak di wajahnya seolah-olah memberitahu kepada semua makhluk jika ia akan segera berhubungan intim dengan dirinya.

“Tidak ada yang tersisa, tidak ada yang layak untuk dilayakkan, tidak akan ada hari esok!!!” Kata Adnan yang terlihat semakin terangsang setiap detiknya.

Kobaran api merah memesona memeluk gedung-gedung dengan begitu eratnya. Kegelisahan semakin menusuk pada setiap makhluk. Adnan masih mencemooh sang waktu dengan tariannya, saat orang-orang sibuk mengemis pada juru selamat yang sedang sekarat itu.

Kata mereka dengan gejolak kekhawatiran yang mendidih, “Bagaimana nasib kita? Apakah tuhan mengabaikan kita? Bagaimana dengan masa depan? Tolong selamatkan kami!!”

Bagi Adnan, segalanya yang ia lihat sekarang tampak begitu manis dan dalam. Teriakan semua makhluk melahirkan simfoni polifonik musik dan puisi yang menjadi corak kesia-siaan dari kesialan ketika dilahirkan. Adnan masih saja terus melanjutkan tariannya mengabaikan bahasa yang sedang bersiap mati.

“Aku telah hidup ribuan kali melewati taman anggrek di bawah langit abu yang menciptakan nisan bagi semesta, tidak ada apa pun di sana. Aku juga telah melewati ratusan manusia dengan kebencian yang mengilhami kehidupan, tidak ada apa pun juga di sana.”

Semua makhluk tiba-tiba membeku—dari spesies manusia, kumbang, pohon, bahkan lumut—melihat batu asing yang megah dan mengilau melaju kencang sedang menabrak atmosfer realitas yang kelabu. Tidak lama lagi, batu indah itu akan menabrakkan dirinya pada sirkuit peradaban yang sedang berjalan. Adnan masih saja terus menari, tetapi ada yang berbeda kali ini. Ia seperti orang yang telah berjalan membuang ribuan waktu di gurun pasir dan akhirnya menemukan oasis yang menyegarkan jiwa keringnya.

Adnan berteriak di tengah tariannya, “Waktu terlihat gontai dalam lorong kehidupan. Hari ini adalah kenyataan yang dicari-cari umat manusia. Tuhan telah tewas, bangkainya belum juga ditemukan oleh para budaknya. Para nabi pun mengalami nasib yang serupa.”

Ketika Adnan semakin tenggelam dalam tariannya, langit telah kehilangan warna. Tiba-tiba kesunyian yang suram mendekap tubuhnya yang dingin. Keheningan yang abadi mengetuk telinganya yang berisik. Sembari menyelesaikan tariannya, Adnan telah melepaskan kuman melankolis dan sisa-sisa kemanusiaan yang bodoh dari tubuhnya.

“Kira-kira beginilah akhirnya, kebebasan tak pernah mengunjungi tuannya.” Kata Adnan dengan tersenyum.