ANALISIS TULISAN SANENTO YULIMAN : KREATIVITAS SENI, SUBJEKTIVISME, OBJEKTIVISME

Dalam tulisan ini saya akan melakukan peninjauan terhadap kritik Sanento Yuliman : Kreativitas seni, Subjektivisme, Objektivisme. Saya akan membedah tulisan Sanento secara rinci untuk melihat bagaimana pandangannya tentang kreativitas seni, subjektivisme, objektivisme dibangun dan dampak dari pembacaan tulisan tersebut. Untuk itu saya akan menuliskannya menjadi beberapa bagian : 1) menjelaskan pengertian objektivitas dan subjektivitas, 2) melakukan analisis dan menjabarkan hal-hal yang bermasalah terhadap tulisan Sanento Yuliman, 3) dan terakhir meluruskan kekeliruan yang terdapat pada tulisan Sanento Yuliman.

Subjektivisme Dan Objektivisme

Dalam kajian epistemologi terdapat perdebatan antara rasionalisme dan empirisme. Epistemologi adalah kajian yang membahas dasar-dasar pengetahuan. Pandangan rasionalisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan kita didasarkan pada rasio atau nalar, seperti dalam persoalan matematika pengalaman indrawi tidak diperlukan untuk mencapai kesimpulan terhadap masalah-masalah matematis. Berkebalikan dengan rasionalis kaum empiris menyatakan bahwa pengetahuan kita didasarkan pada pengalaman inderawi manusia. Menurut David Hume, tidak ada pengetahuan yang mutlak, karena pengetahuan selalu didasari dari pengalaman manusia yang sifatnya terbatas. Galileo Galilei memiliki pandangan yang mengetengahkan antara rasionalisme dan empirisme. Penemuannya tentang rumusan benda jatuh, Galileo membuat sebuah hipotesis yang sifatnya rasional dari pengamatannya terhadap benda jatuh dan membuktikannya dengan eksperimen. Penemuan ini memperlihatkan bahwa pengetahuan dimungkinkan karena adanya objek diluar manusia yang diserap melalui indra manusia yang memungkinnya pengalaman empiris dan penalaran rasional atas realitas. Jadi pengetahuan selalu memiliki aspek rasional dan empiris keduanya tidak bisa dipisahkan. Sampai disini dapat dilihat bahwa realitas atau objek diluar manusia adalah syarat dari adanya pengetahuan. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengetahuan adalah hasil temuan yang didapat dari realitas.

Ontologi sebagai cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat dari realitas atau keberadaan segala sesuatu. Pencarian akan hakikat keberadaan telah dilakukan oleh manusia prasejarah dengan menjustifikasikannya kepada kepercayaan akan hal yang mistis dan mitologis. Namun pencarian akan hakikat dari realitas pada abad ke-6SM mulai didasarkan pada observasi dan nalar rasio yang dijelaskan oleh Thales melalui tulisannya tentang asal usul alam semesta, ia berpendapat bahwa air adalah prinsip dasar segala sesuatu. Cara pandang seperti ini menggambarkan sebuah pandangan tentang hukum kodrat dari segala sesuatu, bahwa terdapat satu tatanan kodrati yang memungkinkan adanya dunia. Plato meneruskan pemikiran Thales tentang tatanan kodrati dengan mencoba mendasarinya kepada matematika. Berbeda dengan Thales yang berpendapat bahwa tatanan kodrati alam semesta ini adalah materi yaitu air, Plato berpendapat, jika sebuah objek dibuang unsur warna, aroma, tekstur, dsb. maka yang tersisa hanyalah bentuk (Form) atau geometri. Pandangan Plato tentang tatanan kodrati ini tidak memiliki sifat indrawi seperti Thales karena warna, bau, dan tekstur adalah sifat benda yang didasarkan dari pengalaman indrawi manusia sedangkan sifat benda yang indrawi tersebut oleh Plato sudah dibuang dan hanya menyisakan unsur matematika yang nir-indrawi. Dari kedua perbedaan pendapat antara Thales dan Plato sebenarnya terdapat satu kesamaan yaitu, kodrat dari realitas diluar manusia ini adalah hasil idealisasi dari penalaran logisnya. Pandangan tentang tatanan kodrati yang ideal ini berlaku universal. Segala sesuatu selalu dikonstitusikan oleh kodrat dari realitas, semua yang terdapat pada realitas haruslah dapat direduksi ke dalam rumusan ideal tentang kodrat ini. Namun dalam kasus tertentu pandangan universal tentang rumusan ideal kodrat ini sering kali tidak memungkinkan menjelaskan problem yang sifatnya partikular yang disebabkan oleh adanya pengaruh eksternal yang mempengaruhi realitas atau objek, seperti api yang berwarna hijau, ungu, atau putih. Dikarenakan pengandaian tatanan yang kodrati yang berlaku universal ini selalu mengkonstitusikan objek atau realitas maka jika dihadapkan dengan realitas yang berlainan akan menimbulkan keganjilan ontologis. mungkin ini yang dimaksud objektivisme oleh Sanento Yuliman dalam tulisan nya “Kesepakatan para ahli dalam penilaian, yang sering dikemukakan sebagai alasan untuk menunjang objektivisme adalah anggapan yang tidak dapat berdiri didepan kenyataan. Tidak jarang dikemukakan bahwa kesepakatan itu dimungkinkan karena dalam semua karya seni terdapat sifat atau ikhwal yang berharga, yang disebut 'keindahan', 'mutu seni', dan sebagainya.”[1]

Lalu bagaimana dengan objektivisme dan subjektivisme? Objektivisme memandang pengetahuan (epistemologi) manusia didasari dari keberadaan (ontologi) objek diluar manusia bukan sebaliknya. Dari iklim objektivisme ini lahirlah pandangan realisme yang mempercayai adanya realitas objektif yang eksternal dan independen dari subjek. Terdapat perdebatan panjang antara penganut materialisme dan idealisme dalam pandangan realisme. Karena realisme mempercayai adanya realitas objektif yang independen, oleh kaum materialis realitas objektif ini dibasiskan pada materi, karena realitas material mengkondisikan kesadaran bukan sebaliknya. “Argumen realis bisa juga digunakan untuk mendukung idealisme: pandangan tentang adanya suatu ‘entitas’ yang independen terhadap kesadaran manusia bisa mengarah pada idealisme jika ‘entitas’ tersebut adalah prinsip supra-material (Tuhan, Roh, Idealitas, dan sebagainya) yang menjelaskan–ketimbang dijelaskan oleh– adanya dunia material”.[2]

Para penganut pandangan subjektivisme beranggapan bahwa realitas atau keberadaan sesuatu berakar pada pengetahuan manusia. Keberadaan objek diluar manusia adalah hasil kesimpulan dari pengetahuan yang ada didalam diri manusia. Jadi keberadaan segala sesuatu selalu dikonstitusikan oleh keberadaan manusia. Selama objek diluar manusia tidak diketahui maka ia dianggap tidak ada. Pandangan seperti ini mendasarkan keberadaan (ontologi) objek hanya melalui pengetahuan (epistemologi) manusia semata atau secara singkat dapat dikatakan bahwa manusia menjadi syarat utama atas keberadaan objek. Jika pandangan subjektif terus dipertahankan maka keberadaan dunia sendiri dikonstitusikan oleh manusia, jika manusia tidak ada maka dunia ini pun menjadi tidak ada. Pandangan subjektivisme ini lah yang mendasari pandangan idealisme. “Esensi dari idealisme tidak terletak pada pengertian tentang realitas sebagai hasil produksi kesadaran saja. Dibalik pengertian itu, terletak argumen dasar yang memungkinkannya. Argumen ini adalah apa yang dikenal dalam tradisi filsafat sebagai doktrin relasi internal. Inilah jantung idealisme, Doktrin inilah yang membuat Hegel, tetapi juga Derrida dan Lacan, seorang idealis”.[3] Karena segala sesuatu selalu berelasi dengan yang lain dan ini berlaku universal maka kebenaran absolut dan realitas objektif menjadi tiada dan yang nampak hanyalah relativisme dan anti-absolutisme. Ini lah yang nampak pada tulisan Sanento Yuliman “Maka sikap yang realistis dan terbuka ialah menerima keragaman itu, absolutisme dalam pendekatan kepada hasil seni, di tinggalkan”.[4] Apa Sanento benar-benar realistis?

Analisis dan Problematisasi Terhadap Tulisan Sanento Yuliman : Kreativitas seni, Subjektivisme, Objektivisme

Dalam tulisannya Sanento mempersoalkan tentang penilaian terhadap seni dengan pandangan subjektif dan objektif yang memunculkan kemacetan komunikasi yang berimplikasi terhadap kreativitas seni. Trisno Sumardjo sebagai kubu yang menggunakan pandangan subjektif terhadap penilaian seni dianggap menimbulkan problem sebagai berikut:

“Dalam iklim dimana subjektivisme subur, kreativitas seni akan berhadapan dengan kesukaran. pencerapan orang pada umumnya terbatas, terkondisikan oleh hasil seni yang dikenalnya akrab dan yang biasa dinikmatinya. Kreativitas justru cenderung melahirkan karya asli dan khas, menyimpang dari klise, dari kebiasaan. Karya begini akan cenderung tidak dipahami, disalah tafsirkan dan ditolak atau akan membangkitkan kontroversi–pertentangan tanggapan dan penilaian. Tetapi, oleh karena dalam subjektivisme orang cenderung mengacu kepada reaksi subjektifnya sendiri dan tidak menunjuk kepada hal-hal yang dapat diamati bersama dalam karya seni, komunikasi pembicaraan tentang hasil seni menjadi sulit atau tidak mungkin. Oleh kemacetan komunikasi, perbedaan dan pertentangan tidak dapat membawa orang kepada perluasan apresiasi dan pengayaan batin. Perbincangan diskusi, perdebatan tentang hasil seni tidak ada gunanya, dan pendidikan menjadi omong kosong.”[5]

Dalam kutipan tersebut problem kemacetan komunikasi yang diciptakan oleh iklim penilaian secara subjektif memunculkan problem penilaian sepihak yang hanya didasari dari pengalaman seseorang saja maka perdebatan tentang seni menjadi tidak dimungkinkan dan penilaian terhadap kreativitas yang menyimpang dari norma umum tidak dimungkinkan bahkan dapat dianggap tidak sah.

Dari kubu yang berlawanan dengan Trisno Sumardjo yaitu Kusnadi sebagai penganut pandangan objektif Sanento mempersoalkan tentang sulitnya penerimaan atas pluralisme.

“Kita segera melihat sifat mengongkong dan menekan dalam objektivisme. keyakinan kepada satu-satunya perangkat nilai seni yang dianggap berlaku, dianggap mutlak, dan keyakinan kepada satu-satunya cita rasa yang dianggap benar, tentunya tidak dapat menerima nilai-nilai lain dan cita rasa lain. Sulit membayangkan bagaimana objektivisme dapat menyediakan lahan dan iklim yang subur bagi kreativitas yang cenderung melahirkan karya bersifat baru, cenderung kepada percobaan dan penemuan, kepada penjelajahan wilayah-wilayah pengalaman baru. Objektivisme sulit menerima pluralisme.”[6]

Problem tentang hanya berlakunya satu nilai yang disetujui berdampak pada sempitnya ruang kreativitas yang diciptakan oleh iklim objektivisme. Hegemoni yang terjadi pada iklim ini terjadi dikarenakan oleh kesepakatan antara para ahli, orang-orang mahir perihal penilaian sebuah karya, yang tolak ukur penilaiannya pun tidak diketahui asal usulnya, entah impor entah secara suka-suka. Pandangan ini berdampak pada penyempitan kreativitas seorang seniman.

Kesimpulan yang dibuat oleh Sanento dari pengamatan terhadap iklim subjektivisme dan objektivisme memunculkan sebuah pandangan yang mengarah kepada keterbukaan dalam menilai dan memandang secara realistis.

“Maka sikap yang realistik dan terbuka adalah menerima keragaman itu. Berarti, absolutisme dalam pendekatan kepada hasil seni, ditinggalkan. apa pun tafsiran dan penilaian saya tentang sebuah hasil seni, akan selalu orang lain mungkin–katakanlah si Polan–mempunyai tafsiran dan penilaian lain. Saya dapat membenarkan atau menyalahkan si Polan, hanya jika saya memahaminya: memahami bagaimana ia melihat hasil seni itu, mengalaminya, dan menilainya. Mungkin ada hal yang tidak runtut, tidak taat asas, dalam semua itu. Akan saya katakan, ia keliru.” [7]

Dari kritik kepada objektivisme dan subjektivisme terdapat penekanan terhadap keterbukaan penilaian karya seni agar diskursus kesenian dapat dimungkinkan, yang tidak berpatokan terhadap penilaian subjektif maupun objektif yang menekankan terhadap satu pandangan saja dan menilai dengan merujuk kepada hal-hal dalam karya. Sampai sini pembacaan terhadap problem subjektivisme dan objektivisme dapat dilihat pokok permasalahannya. Saya akan mempertahankan cara penilaian yang merujuk pada hal-hal dalam karya, seperti yang dinyatakan Sanento Yuliman “Menunjuk kepada hal-hal, dalam karya seni, yang dapat diamati bersama dan mengurainya–memerikan dan menganalisis–berperan penting dalam komunikasi”.[8] Namun saya akan memperlihatkan bagian yang saya anggap perlu dikoreksi dan mengaitkannya dengan penyimpulan Sanento yang saya anggap keliru dan meluruskan pandangan Sanento tentang cara penilaian yang merujuk kepada hal-hal dalam seni.

Pertama, kurangnya ketelitian Sanento terhadap pembacaan tentang objektivisme, seperti sudah saya jelaskan pada bagian awal pembahasan bahwa yang dimaksud Sanento objektivisme adalah objektivisme yang mereduksi realitas ke dalam satu konsep universal. Penekanan terhadap konsep universal yang mengkonstitusikan segalanya menyebabkan hilangnya pluralisme seperti yang dikemukakan oleh Sanento yang berpotensi menciptakan fanatisme terhadap konsep yang dianggap universal tersebut. Pada pandangan subjektivisme juga berlaku seperti itu bedanya jika objektivisme mereduksi objek diluar manusia sedangkan subjektivisme mereduksi pengalaman empiris ke dalam konsep universal. Dari sini dapat dilihat bahwa kritik Sanento terhadap subjektivisme dan objektivisme tidak ada bedanya karena yang dikritik adalah idealisme.

Kurang telitinya Sanento berimplikasi terhadap pandangannya yang anti terhadap objektivisme dan menolak kebenaran absolut. Sanento menganggap penilaian orang lain dapat dibenarkan apabila kita menggunakan cara pandangan orang lain tersebut. “Mungkin ada hal yang tidak runtut, tidak taat asas, dalam semua itu. Akan saya salahkan”,[9] namun tolak ukur penilaian benar dan salah yang diajukan oleh Sanento ini tidak jelas batas-batasnya. Apabila kebenaran hanya dimungkinkan hanya melalui pandangan yang lain maka semua penilaian dapat dianggap benar dari sudut pandang yang lain tersebut. Keantiannya terhadap kebenaran absolut membuat Sanento memandang kebenaran secara relatif. Kebenaran sebuah penilaian terhadap karya hanya didasarkan pada subjek yang mengamati dan pengetahuannya sendiri tidak didasari pada karya yang ada. Bagaimana jika pandangan yang lain itu pandangan seekor kuda? apa kita harus melihat dan mengalami seperti kuda? Saya rasa kritik yang diutarakan oleh Sanento terhadap pandangan subjektivisme dan objektivisme (idealisme) menjadi sia-sia karena kesimpulannya sendiri yang menolak kebenaran absolut (sekaligus objektivisme-realisme) malah membenarkan apa yang ia kritik. Ajakan Sanento untuk mengambil sikap yang realistis pun malah menjebak pembaca kedalam relativisme.

Kesimpulan

Agar kritik terhadap pandangan subjektivisme dan objektivisme (idealisme) yang diutarakan oleh Sanento tidak sia-sia, saya akan menggunakan pandangan objektif yang tidak menekankan sebuah konsep universal terhadap penilaian sebuah karya dengan tetap mengakui adanya kebenaran absolut agar tidak terjebak kepada pandangan relativisme. Untuk itu saya akan mengajukan pandangan Materialisme Dialektis dan Historis sebagai pendasaran terhadap penilaian sebuah karya seni.

“Diamat (Dialictical Materialism) merupakan ‘filsafat Marxis’ yang memuat metode pembacaan realitas secara luas. Dalam kosakata filsafat, dengan demikian, Diamat adalah epistemologi. Sebagai epistemologi, Diamat mengandung dua ciri pokok: (1) prosedur pembacaan realitas yang mencari basis material yang menopang keseluruhan realitas yang spesifik; (2) prosedur pembacaan realitas yang mencari kesaling-hubungan internal di antara elemen-elemen realitas. Secara epistemologis, Diamat menganut realisme, yakni pandangan epistemologis bahwa pengetahuan berupaya mencari tahu kenyataan objektif yang keberadaannya tidak dapat direduksikan pada pengetahuan tentangnya.
Histomat (Historical Materialism) mengandung dua arti: sebagai teori tentang kenyataan sosial secara umum (ontologi umum) dan teori tentang kenyataan sosial secara spesifik (ontologi spesifik). Sebagai ontologi umum, Histomat adalah hipotesis tentang hukum gerak realitas sosial yang terangkum dalam tesis ‘basis mengkondisikan superstruktur’ dan ‘kesaling-hubungan antar elemen kenyataan’. Sebagai ontologi spesifik, Histomat adalah hasil penerapan metode Diamat untuk membaca realitas sejarah perkembangan masyarakat tertentu.” [10]

Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa terdapat perbedaan antara pengetahuan (epistemologi) dan kenyataan (ontologi). Terdapat satu keberadaan objektif yang eksternal dari kesadaran yang absolut dan menjadi basis dari pengetahuan manusia yaitu keberadaan material. Namun keberadaan material sekalipun menjadi basis dari pengetahuan ia masih dapat dimungkinkan berubah seturut dengan perkembangan pengetahuan manusia dalam batasan tertentu : Batu dapat diubah menjadi patung namun batu tidak dapat diubah menjadi seekor lele. “Salah satu tesis dalam buku Materialisme Dialektis adalah bahwa kita dapat menjadi esensialis tanpa menjadi penganut hukum kodrat yang memuja keabadian tatanan yang ada, bahwa kita dapat menjadi historis tanpa terjatuh kedalam anti-esensialisme” (Martin Suryajaya).

Lalu bagaimana kaitannya Materialisme Dialektis dan Historis dengan penilaian seni?. Dengan mengakui adanya keberadaan objektif absolut yang menjadi basis dari penilaian yaitu objek seni, maka penilaian terhadap objek seni harus dibasiskan kepada unsur-unsur intrinsik objek seni tersebut baru lah penilaian secara terbuka dapat dimungkinkan. Tidak bisa memaksakan sebuah penilaian lain terhadap satu objek yang ingin dinilai. Nilai dari objek hanya dapat ditemukan dalam objek itu sendiri yang berkenaan dengan sejarah, perubahan atau relasi internal antar elemen pembentuk objek tersebut. Dengan begitu jika penilaian sebuah objek seni hanya dibasiskan kepada penilaian lain bukan objek seni itu sendiri dapat dikatakan penilaian tersebut keliru. Mungkin karena pernyataannya yang anti terhadap absolutisme yang membuat Sanento malu-malu kucing untuk memperjelas batasan benar-salahnya sebuah penilaian.

Sampai sini saya rasa cukup untuk memperjelas apa yang ingin Sanento utarakan. Kritik saya terhadap pernyataan Sanento hanya untuk memperjelas apa yang ingin disampaikan oleh Sanento karena poin-poin yang ditekankan dari kritik terhadap subjektivisme dan objektivisme saya rasa sejalan dengan pandangan objektif yang sudah saya jelaskan di bagian akhir. Maka dari itu perlunya penilaian secara objektif agar iklim kesenian di Indonesia dapat terus berkembang dan insya allah pengetahuan tentang seni Indonesia dapat terbentuk.


  1. Sanento Yuliman, Kreativitas Seni, Subjektivisme, Objektivisme. Estetika yang Merabunkan : Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-1992), hlm. 331. ↩︎

  2. Martin Suryajaya, Materialisme Dialektis : Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer, hlm. 59. ↩︎

  3. Ibid., hlm. 2. ↩︎

  4. Sanento Yuliman, Kreativitas Seni, Subjektivisme, Objektivisme. Estetika yang Merabunkan : Bunga Rampai Esai dan Kritik Seni Rupa (1969-1992), hlm. 333. ↩︎

  5. Ibid., hlm. 329. ↩︎

  6. Ibid., hlm. 331. ↩︎

  7. Ibid., hlm. 333. ↩︎

  8. Ibid., hlm. 333. ↩︎

  9. Ibid., hlm. 333. ↩︎

  10. Martin Suryajaya, Dialectical Materialism Strikes Back, (https://indoprogress.com/2012/08/dialectical-materialism-strikes-back/), 30 Agustus 2012. ↩︎