halo halo Mas Andreas Pak Uci Bukatmi Bukatmi saya sayang Alhamdulillah senang sekali melihat kawan-kawan sehat-sehat Amin ini Mas Andreas juga seger nih kita mulai S7 tepatnya atur kawan sudah datang tepat waktu bahkan lebih dulu dari moderatornya disini masih jam 7 pagi subuh baru saja selesai jadi masih Anu masih krip-krip datang masih onas kita masih menunggu Mbak Roron Oke baik sudah mandi belum Wah itu tidak bisa dijawab mandi itu kan ada jangka waktunya ya Jadi ya masih dalam waktu 12 jam sudah masih bisa dibilang sudah mandi apa kabar Bin sehat Hai Hai Bim Wih bingung sehat di lembah ayo rambutmu semakin mantap saja din semakin mantap sebagai sejarawan pria sejarawan kita ini ini banyak banget teman-teman nih selamat malam waktu Indonesia deh Selamat pagi waktu Amerika Selamat siang waktu Eropa dan selamat dini hari ya Selamat waktu sahur untuk teman-teman Australia ya ini kita ada di lima benua Jokowi ada yang dari Afrika umur tengah coba ditaruh di chat tinggal kurang antartika aja sebenarnya kita ya hahaha hahaha ya Jadi acara hari ini kawan-kawan semua sambil menunggu ah teman-teman yang sudah ada di grup WA bergabung di grup Hai ah bergabung di Zoom cara hari ini merupakan kolaborasi antara beberapa kelompok sekaligus di apa di Indonesia maupun di luar Indonesia jadi ada Halo Jerman Selamat siang lalu ada Indonesia bergerak saya Ayu yang akan memandu diskusi hari ini saya di Indonesia berprofesi di Indonesia berprofesi di Indonesia berprofesi di Indonesia berprofesi di Indonesia berprofesi sum aunque sebagai pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Kejah Mada tapi sekarang saya sedang menempuh studi doktoral saya di Amerika Serikat saya tergabung dalam Indonesia bergerak uh Pakistan hadir Terimakasih Pakistan Indonesia bergerak ini adalah sebuah perkumpulan mahasiswa Indonesia yang sedang berada di luar negeri untuk menempuh studi kami ada di 21 negara makanya ada tadi ada Pakistan ada Mesir ada Jerman dan sebagainya kami berkumpul untuk apa sama-sama bersolidaritas dengan kawan-kawan yang saat ini di dalam negeri sedang memperjuangkan banyak hal Sidoarjo dan Dirsek terima kasih sudah hadir Wah ini saya selama-lamanya seperti penyanyi dangdut mengabsen-absen masing-masing peserta berdasarkan apa namanya asal daerah nah kami di Indonesia bergerak kali ini berkolaborasi dengan kompras aksi kamisan lalu kemudian bareng warga dan logos ID untuk mengadakan kelas politik order baru atau kepo orba karena kita semua sama-sama ingin tahu sama-sama kopa kepo orba ini barang apa sih gitu alam saya masuk di dalam generasi yang tidak belajar mengenai orba di kurikulum formal sekolah gitu apalagi tentang 65 ya kan pertanyaan yang muncul ketika saya justru sedang melanjutkan studi gitu dosen saya yang orang Amerika Serikat bertanya Bagaimana dengan Indonesia sudah selesai belum permasalahan kekerasan masa lalu sekali kan gitu lalu saya bingung asal apa itu dari situlah kemudian saya mencari sendiri saya yakin di banyak diantara teman-teman juga merasa demikian ya merasa apa namanya kurikulum formal di sekolah kita itu tidak tidak secara utuh mebercerita tentang sejarah kita semua sebagai sebuah bangsa padahal setahu saya bangsa yang besar adalah bangsa yang jujur dengan sejarahnya itu seterang-terangnya segelap-gelapnya sebaik-baiknya sesalah-salahnya nah malam ini saya kira semangat kita semua sama kita ingin bahwa mencoba memahami episode sejarah episode tertentu dalam sejarah Indonesia di bawah rezim Orde Baru yang tujuannya melengkapi apa yang teman-teman sudah dengar dalam pendidikan sejarah di sekolah ada banyak sekali yang tidak diceritakan makanya kami berusaha kemas kelas ini dalam 14 pertemuan tapi setelah silabusnya disebar ada aja tambahannya tambahin topik ini dong tambahin topik itu dong gitu jadi bersabarlah jika teman-teman tertarik kita masih akan bersama-sama selama mungkin dua tiga bulan kedepan untuk membahas Orde Baru dari semua sisi hari ini sudah hadir bersama saya ada Apakah Mas Abdul Wahid sudah datangnya belum deh tapi sekarang sudah hadir bersama saya ada yang bicara yang akan mengupas kekerasan yang paling mendasar yang memungkinkan rezim Orde Baru itu berdiri itu bersama saya ada Mbak Roro Sawita bagian dari Melbourne bergerak sejarawan Halo Mbak Roro disana sedang 11.00 semalam Iyip semoga masih tertengah malam popinya hehehe hehehe Mbak Roro ini juga seorang kolaborator dari John rusa John rusa menulis buku berjudul pretext of the mass murder yang baru-baru betul ya ini dalih pembunuhan massal itu bagaimana kemudian gerakan 30 September digunakan sebagai dalih oleh order baru untuk menjalankan kekerasan terhadap kemanusiaan sepanjang periode 1965-1967 lalu berlanjut ke anak keturunan orang-orang yang dilabel rezim sebagai kiri nanti Mbak Roro akan bercerita pada kita tentang tenang itu gerbong paling awal lokomotifnya order baru Nah setelah baru nanti ada Mas Andreas yang akan bercerita pada kita dari perspektif seorang seorang arsiparis seorang pustakawan mas Andrea sudah selama bertahun-tahun mengumpulkan arsip-arsip buku-buku tulisan tentang 1965 kekerasan terhadap kemanusiaan di tahun 6567 dan apa produk-produk pengetahuan seputar itu gitu karenanya sebagai harapannya sebagai arsiparis dan pustakawan mas Andreas Thomas Yohanes punya apa ya punya perspektif yang lebih luas gitu seperti burung yang melihat banyak hal bersamaan mungkin nanti Mas Yohanes bisa berbagi kepada kita semua apa sih yang ditemukan selama bertahun-tahun jadi pustakawan dan arsiparis untuk insu kekerasan atau 95 setelah itu ayo mudah-mudahan tenang saja kita alam ini berdiskusi apa namanya santai tapi reflektif lalu setelah itu kita sudah kita kami merasa terhormat karena ada kawan-kawan apa Bapak Ibu kawan-kawan dari keluarga penyintas tiga generasi di sini ada Mbak Uci keluarga penyintas 65 dari generasi pertama yang waktu 6 kekerasan 167 ahah terjadi sudah lahir itu ya buci juga mendirikan paduan suara dialita nanti Buci bisa bercerita tentang pengalaman pribadinya sekaligus bercerita sedikit tentang dialita itu apa sih saya suka sekali lagu-lagu dialita lagu-lagu dialita itu adalah lagu-lagu yang seputar kalau lagi galau sebagai mahasiswa Nah lalu kemudian ada Mbak Ipi Amber Mira yang berkegiatan di Kiprah perempuan di Jogja Mbak Pipit adalah perwakilan keluarga penyintas generasi kedua sebagai generasi kedua Mbak Pipit belum lahir di tahun 1965 sama seperti banyak dari kita tapi Mbak Pipit mengalami Orde Baru dan mengalami reformasi nah terakhir kita punya Bimo sejarawan muda kita dan perwakilan keluarga penyintas generasi ketiga yang saya yakin juga pengalamannya relatable buat banyak teman-teman disini karena Bimo tidak hidup di era Orde Baru tetapi hidup di era reformasi sehingga pengalamannya sebagai keluarga penyintas dibentuk oleh konteks yang berbeda dari Mbak Pipit dan Bu Uci lalu ada Mas Abdul Wahid Terima kasih sekali sudah berkabung Mas Abdul Wahid adalah seorang sejarawan dari Departemen Sejarah Universitas Gajah Mada kami ingin sekali mendengar dari Mas Wahid tentang bagaimana kekerasan terjadi yang terjadi tahun 1965 dan 1967 itu tidak hanya berdampak tidak hanya pun berdampak pada penyintas dan keluarganya tapi kita semua karena yang dibilangkan adalah apa ya elemen-elemen progresif dari Indonesia ada yang bilang bahkan kekerasan apa terhadap kemanusiaan tahun 65-67 itu adalah sebuah genosida virtual apa maksudnya kita akan dengar itu dari mas Wahid nah masing-masing pembicara punya waktu 10 sampai 15 menit untuk menyampaikan untuk bercerita nanti kita mulai dari Mbak Roro lalu Mas Wahid lalu Mas Yohanes Bu Ci Mbak Pipit lalu Bimo saat ini saya diberitahu oleh admin bahwa zoom sudah penuh jadi kalau ada teman-teman yang berkenal teman-teman yang lain yang ingin mengikuti diskusi ini silahkan diarahkan ke karena sesi malam ini juga disiarkan secara langsung via Youtube. Terima kasih banyak sekali lagi atas kehadirannya. Sebelum saya serahkan kepada Mbak Roro, ruang diskusi ini adalah ruang diskusi yang seharusnya kita jadikan aman dan nyaman bersama untuk belajar mengenai sejarah kita sendiri, berefleksi tentang sejarah kita sendiri dan berempati dengan semua penyintas yang mengalami kekerasan oleh rejim Orde Baru. Terima kasih banyak. Silahkan tempat dan waktu saya berikan ke Mbak Roro. Mau gak Mbak? Terima kasih Mbak Roro. Bergerak untuk ngasih background dari bagaimana peristiwa 65. Peristiwa 65 saya rasa itu bukan lagi sesuatu yang tidak bisa dibicarakan seperti zaman Orde Baru. Itu kayak kalau di zaman Orde Baru kita kayak rahasia gitu ya. Yang sebetulnya adalah public secret, rahasia umum. Semua orang kalau kita tanya di jalan, bahkan tetangga yang usianya sudah di atas 60 tahun pada saat itu, tahu apa yang terjadi. Cuman mereka seru bilang, awas nanti dinding itu ada kupingnya. Saya ingat kalimat-kalimat itu, di dinding itu ada kupingnya. Kemudian reformasi, kita sudah mulai bisa lebih banyak ngobrol tentang 65. Kemudian kita bisa berkumpul dengan orang-orang yang... Bisa dikatakan saksi sejarah waktu itu. Semakin banyak kita bergaul dengan orang-orang 65, waktu itu belum ada buku-buku yang mudah kita baca walaupun di awal-awal 2000 gitu. Makin lama kita bergaul dengan mereka, makin kita punya pertanyaan. Jadi sebetulnya apa sih yang terjadi tahun 65? Karena yang kita tahu di generasi saya waktu zaman SDSM, SMS, apakah bicara tentang 65 ya bicara G30S. Bagaimana tujuh jeneral mati dibunuh, tapi ternyata lebih besar dari masa itu, gitu. Saya ingat, bahkan saya mahasiswa sejarah waktu itu, nggak pernah kita belajar tentang apa yang terjadi di 65 sebenarnya. Tetapi keingintawan itu semakin lama semakin besar gitu ya. Dan kita mencari tahu, ada banyak literasi-literasi, cuman ternyata literasi-literasi itu banyak, literasi internasional, gitu. Di Indonesia sendiri sulit. Bahkan bukunya Pram itu, apa namanya, kita nggak bisa baca. Hanya fotokopian-fotokopian waktu itu yang muncul. Lagi, Vin. Ke bawah terus, Vin. Lanjut, ke bawah lagi, Vin. Sorry. Belajar peristiwa 65 gitu ya. Kita bukan hanya sekedar kemudian tahu, oh, sekian banyak orang yang dibunuh begini. Sekian banyak dibunuh begini cara bunuhnya. Nggak. Tapi kita kemudian belajar apa sih yang terjadi. Setelah kita baca literasi, bahkan ngobrol gitu kan dengan banyak orang, ternyata di internasional sendiri ada banyak pengaruhnya. Ada pertarungan antara blok barat, blok timur, Amerika dan Soviet, dan posisi Indonesia waktu itu. Di Indonesia sendiri, di Jakarta sendiri ada pertarungan antara, of course, PNI, PKI, NU, militer, untuk mendapatkan simpati. Simpati rakyat dan juga kedekatan dengan Soekarno. Tapi kemudian Soekarno menjadi lebih dekat dengan PKI, karena lama-lama PKI kemudian yang mendorong mendorong ide-ide Soekarno. Soekarno jalan ke basis-basis, ke masa-masa. Nah di tingkatan lokal sendiri, karena saya banyak basis di Bali gitu kan ya, di Bali itu ada juga persaingan-persaingan di tingkatan lokal, bahkan di tingkat kepala desa gitu. Antara persaingan antara PKI dan PNI itu terasa sekali gitu, terasa keras gitu. Dan di zaman itu, politik itu bukan sesuatu yang kayak, takut-takut kita belajar politik atau dia jauh gitu loh. Pada masa itu, orang itu merasa bahwa dia harus ikut berpolitik. Kalau zaman mudanya, it's cool to be, apa namanya, gue keren tuh kalau belajar politik. Zaman itu. Kalau mau keren, belajar politik. Jadi terjadi pertarungan. Dan kemudian tahun 1960-an dicetuskan undang-undang Land Rekuang. Nah yang mendorong undang-undang, reform di lapangan itu paling banyak didorong oleh PKI. Walaupun sebetulnya aturan ini bukan aturan yang diciptakan oleh PKI, tetapi aturan ini diciptakan di parlemen, itu ada PNI, ada NU, ada yang lain-lain, tetapi di lapangan yang paling banyak mendorong undang-undang ini berlaku, undang-undang pokok bahasa Gihasil dan undang-undang tahun 1960, itu adalah PKI. Dan juga, barisan tadi ini BTI sebagai pasukan nempurnya di lapangan. Nah itu yang menjadi background awalnya bagaimana peristiwa ini terjadi. Bagaimana besarnya, masifnya peristiwa 1965 terjadi. Sorry, saya taruh ini. Boleh di ini lagi? Dorong lagi. Nah, disini sebelum undang-undang, banyak bicara tentang undang-undang Land Reform, karena beberapa kali aku riset tentang Land Reform. Bagaimana Land Reform berpengaruh pada 65 gitu ya. Coba kalau teman-teman bayangkan pada saat itu, hidup di Indonesia itu nggak mudah gitu ya. Tuhan tanah waktu itu bisa punya tanah yang sangat luas gitu selalu. Yang namanya juga feoda. Ada rakyat, ada raja. Tapi kemudian ada undang-undang yang muncul gitu. Undang-undang tahun 1960 yang mengatakan bahwa kalau di Bali satu orang itu hanya boleh memiliki tanah seluas 7 hektare tanah sawah atau 9 hektare tanah ladang. Nah tiba-tiba muncul nih undang-undang. Dan undang-undang didorong oleh PKI dan simpatisannya. Yang kebayang orang-orang yang punya tanah yang bisa 60 hektare, 80 hektare, 100 hektare. Dia diharuskan, sekarang sebetulnya bukan menyerahkan tanahnya kepada si petani penggarap. Tetapi tanah ini dibeli oleh negara, kemudian diberikan kepada si petani penggarap. Jadi si petani penggarapnya nanti akan mencicil pada negara. Tapi kemudian isu ini berubah. Ini apa namanya, si tuan tanah akan memberikan tanahnya kepada petani penggarap. Nah si petani penggarap ini didukung oleh PKI. Ini kita bicara di Bali. Di Jawa bentuknya sama pula. Di Sumatera juga sama. Tetapi kemudian partai-partai lokal yang bermain agak berbeda-beda. Apa namanya, didorong oleh PKI. Jadi dibantu oleh BTI. Kemudian ada tuan tanah yang waktu itu mereka bernaung. Ada di bawah PNI. Mereka berseteru di situ. Sampai sekitar bulan, masih sampai sekitar September. Ada beberapa, karena ketika kita ngobrol lagi. Gimana sih perseteruannya. Jadi kadang gini, hari ini barisan BTI dan teman-temannya mereka menenami di satu lahan. Kemudian besoknya bibit-bibit itu dicabuti. Kemudian besoknya bibit-bibit itu dicabuti. Oleh PNI dan pasukannya. Terus berbalik-balik. Di situ ada perseteruan. Perseteruan itu apakah kemudian, ada beberapa penelitian. Memang kemudian ini menimbulkan korban. Masif atau tidaknya. Tidak semasif bagaimana peristiwa G30S itu sendiri. Kemudian terjadilah peristiwa 65. di Jakarta kemudian di Jakarta ada peristiwa tujuh jeneral orang-orang di Bali mereka gak tau apa yang terjadi mereka diam, mereka bilang kita gak tau apa yang terjadi pada bulan Oktober tidak, orang-orang di lapangan orang-orang bahkan BTI dan lain-lain mereka bilang gak ada apa-apa, bulan itu Oktober keadaan masih tenang bahkan mereka bilang, itu masih ada peresmian-peresmian KBTI di desa, atau bahkan ada peresmian PKI waktu itu karena mereka menganggap tidak ada kejadian yang signifikan tetapi dibalik itu semua, pada bulan Oktober awal itu sudah ada pembersihan di dalam tubuh militer di Bali, saya ngomong di Bali kalau di tentu saja di Solo, di Jawa sudah ada pembantaian berita itu tidak masuk sampai di Bali nah, bulan November mereka mulai ada akhir November pembakaran-pembakaran dan di situ mereka sadar ada pembersihan di dalam tubuh partai dalam tubuh PKI, orang-orang yang dianggap PKI dan simpatisannya itu mulai di diharuskan untuk melapor kepada polisi bahkan bulan November akhir itu sudah ada di Bali itu, jadi orang-orang ini dinyatakan diharuskan untuk bersumpah di pura desa atau di pura dalam mereka diharuskan bersumpah mereka bersumpah setia kepada setia pada undang-undang artinya mereka tidak tidak mendukung PKI, dan kemudian mereka mendaftar di daftar nama-nama yang bersumpah itu bulan Desember itu tanggal 2 tanggal 1, tanggal 2 Desember terjadi pembantaian pertama di negara, di Bali Barat kemudian itu bergeser tanggal 7 Desember itu terjadi pembantaian di kota Denpasar dan setelah itu menyebar kemana-mana, orang-orang yang tadinya mendaftar, atau orang-orang yang sudah dipanggil polisi itu malam harinya, mereka diambil mereka bilang orang-orang ini akan akan Rita invece disино akan disekolahkan di Sukawumi ada mereka akan di Sukabumi kan artinya comies mereka akan dihilangkan atau yang tadi yang diouping yang dikatakan dia bersumpah di desa gitu kan setelah itu endlich diambil ini Aize dirumahnya setiap kelas secara secara secara undang-undang paksa, sudah tentu secara paksa diambil di rumahnya atau di jalanan dibantai begitu saja nah waktu itu kalau kepala desanya adalah PKI biasanya desa itu akan diserang oleh tameng-tameng dari luar desa tameng-tameng ini juga bilangnya bahwa kami dikumpulkan diberi senjata mereka menyerang mereka menyerang ke desa yang dimana kepala desanya adalah PKI biasanya pembantai itu akan masif paling tidak yang saya temukan ada 30 orang itu minimal bahkan ada yang sampai 600 orang di Bali yang kemudian yang tersisa yang tersisa ini sudah diserang sudah pasti akan ditaruh ditangkap di dalam penjara dan itu rata-rata yang masuk ke dalam penjara masih muda-muda itu paling usia sekitar yang paling tua yang saya temukan waktu itu masuk ke dalam penjara itu pada tahun 65 usianya masih 22 tahun ya ada usia yang sudah lebih tua tetapi tidak terlalu banyak gitu ya dan apa namanya apa namanya apa namanya apa namanya apa namanya apa namanya apa namanya kalau di Bali nggak ada yang jangan ada yang sampai masuk ke camp kerja paksa ke Pulau Buru atau apa dia kalaupun ada pada saat itu dan sama seperti juga dibawa di di Jawa dari dimana-mana mereka punya, apa namanya, KTP ada ET, gitu kan dan lain, ada ET, dan lain-lain nah, yang membedakan ketika itu yang membedakan di Bali adalah turisme kalau di luar Bali, gitu ya banyak sekali anggota-anggota atau keluarga korban 65 ini, kehidupannya agak sulit nah, di Bali saya tidak berkata bahwa tidak ada yang sulit, ada, gitu, tetapi kebanyakan karena industri pariwisata kemudian mereka bekerja di industri pariwisata dan industri ini yang memberikan mereka pekerjaan sehingga kehidupan mereka jauh lebih baik tetapi itu juga membentuk satu, apa namanya membentuk mereka untuk juga nggak mau ngomong, gitu, tentang 65 karena mereka juga tahu sebetulnya di mana kuburan-kuburan masal dan kebanyakan kuburan-kuburan masal di Bali ada di desa-desa gitu kan, atau di pantai yang jadi industri, apa namanya hotel, dan lain-lain, di mana turis-turis datang termasuk turis dari tempat saya yang saya saat ini tinggal mereka pasti mau ke kutek, ke seminyak dan sementara itu daerah-daerah yang banyak kuburan masal dan ya, ada lagi masuk baik-baik saya rasa kalau upaya penyelesaian penyelesaian itu sudah sudah banyak gitu ya upaya-upaya dari kita gitu kan, upaya-upaya dari langkah waktu itu mau bikin undang-undang KKR nggak jadi, People's Tribunal ini penemunya ada, tapi International People's Tribunal kemudian Jokowi sempat minta maaf jadi ada sambutan baik juga gitu kan tetapi apa gunanya kalau minta maaf tanpa ada pengungkapan kebenaran saya selalu bilang rekonsiliasi itu penting rekonsiliasi itu penting tapi pengungkapan kebenaran itu juga jauh lebih penting karena nggak bisa selesai cuma dengan cara, saya minta maaf ya minta maaf atas apa gitu kan nah, dan juga dari, apa namanya beberapa kali saya ngobrol target dari pembantai 65 gitu kan saya banyak tentang land reform, saya melihat bahwa target sesungguhnya dari ini semua gitu ya itu bukan hanya PKI atau bukan hanya Sukarno tapi siapapun orang-orang yang mendukung undang-undang land reform itulah korban sesungguhnya karena siapapun yang datang ke upacara-upacara atau kesenian atau bentuk apapun itu yang mendorong mendorong percepatan undang-undang land reform, yang kalau bahasanya order baru adalah aksi sepihak katanya order baru tetapi saya melihat itu bukan aksi sepihak itu adalah upaya untuk mendorong pelaksanaan undang-undang land reform siapapun yang datang dan mendukung itu maka mereka lah korban sesungguhnya jadi apa namanya kalau kita lihat apa namanya undang-undang pertama yang muncul setelah Sukarno turun dan digantikan oleh Soeharto undang-undang pertama yang ditandatangani Soeharto adalah undang-undang nomor 1 tahun 67 atau 68 67 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 91 92 92 93 94 95 96 97 97 97 98 99 100 100 100 100 100 100 90 100 90 100 100 200 atrás SEEM sama itapu digitu si imagine maiO Ya has the roka simbaro untuk apa namanya wad- Instra sihnyapoteks masing-masing daerah-masing baik-baik anda rode di Bali seperti tadi di Aceh ada di chat juga kawan yang bilang di Aceh juga banyak K empezai dan berbalut narasis above bal dizer kita rumah itu roof the One sentaian dana berbalut narasi agama lalu kemudian di Jawa Timur kita tahu apa namanya tentara kemudian juga termasuk melibatkan milisi-milisi agama gitu ya tapi satu hal yang pasti kalau dari saya baca dari buku-buku tentang yang berusaha membedah sejarah periode 6567 kekerasannya itu dimulai berurutan sesuai dengan kapan datangnya resimen para komando Angkatan Darat dan itulah mengapa di Bali kekerasannya baru bulan Desember Januari itu sementara ya betul begitu ya Iya Iya kekerasan pertama kali tanggal 2 Desember yang di Bali Barat itu masih dalam apa namanya tentara tentara lokal ya Hai tapi kemudian masih padahal tanggal 7 Desember setelah rpkade masuk ke Bali di bawah bukan saru Edi ya saya lupa namanya tapi nanti John saya rasa di seksi lain John akan membahas ini secara lebih terbuka gitu ya lebih terang-terangan betul betul ya itu ya rpkade adalah ya buat teman-teman yang Iya buat teman-teman yang belum sempat membaca rpkade adalah resimen para komando angkatan darat yang kemudian sekarang menjadi kopassus waktu itu rpkade dipimpin oleh Bapak Sarowo Edi Wibowo tuliang namanya sekarang jadi pahlawan yang sekarang jadi pahlawan nasional yang melapor secara langsung kepada Pak Harto waktu itu sebagai Panglima komando strategis cadangan strategis Angkatan Darat Kostrad nah menariknya dari buku-buku ini adalah kekerasannya kalau memang kekerasannya ini argumennya adalah konflik lokal gitu, tapi berdasarkan temuan-temuan sejarah, kekerasan yang paling parah itu biasanya muncul setelah RPKAD datang. Bahkan di Aceh dia dimulai awal sekali, menurut bukunya Jess Melvin. Dan memanfaatkan konteks sosial, politik, lokal di masing-masing daerah. Nah, mari kita bergerak ke Mas Wahid. Memang di masing-masing daerah konteksnya berbeda, tapi dengar-dengar Mas kekerasan 65 dan sampai 67, tragedi 65 ini juga memundurkan kualitas Indonesia sebagai bangsa. Sekian puluh tahun kebelakang karena banyak sekali yang dihilangkan, dibunuh, dipenjara adalah generasi intelektual Indonesia pertama. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Silakan Mas Wahid, waktu dan tempat saya persilahkan untuk bercerita tentang apa yang seringkali disebut sebagai genosida intelektual. Jadi mereka menolak untuk mendukung komunitas order baru kurang lebih seperti itu. Kemudian juga dimensi yang lain itu adalah terjadinya stigmatisasi dan diskriminasi dari para korban dan keluarga-keluarganya yang itu terus berlangsung sampai dengan periode-periode berikutnya. Dan mungkin juga sebagian dari jejaknya itu juga masih bisa dirasakan sampai sekarang oleh beberapa dari mereka. Yang lain juga adalah pembuangan dan juga pemenjaraan sekitar 12 ribuan tapol di Pulau Buru pada tahun 1969-1979. Dan yang ke-6 itu adalah kebijakan yang disebut dengan bersih lingkungan. Jadi ini adalah sebuah kebijakan yang diterapkan oleh order baru pasca memperoleh kekuasaan itu untuk memastikan bahwa semua unsur-unsur kiri dari negeri ini harus dihapuskan, harus dihilangkan. Karena itu akan dianggap membawa pengaruh buruk dari peristiwa 65 sebelumnya atau misalnya gerakan 30S sebelumnya. Sebenarnya masih ada beberapa research area yang masih belum banyak menyentuh, banyak-banyak disentuh gitu ya. Tapi sudah mulai. Jadi misalnya di beberapa tempat. Pasca 65 juga terjadi semacam konversi paksa beberapa kalangan ke agama-agama besar gitu kan. Baik itu Kristen, Islam, dan sebagainya kayak gitu. Ini terjadi bagi kalangan agama-agama lokal misalnya dan seterusnya. Nanti gerakan-gerakan adat dan seterusnya yang sebanyak dilakukan oleh para peneliti itu sudah banyak menunjukkan hal itu. Termasuk ini kan konversi dari agama-agama bumi atau apa. Dan agama-agama lokal ya untuk ke agama-agama minoritas juga. Kita juga harus ingat bahwa juga ada juga kebijakan yang diambil untuk pelarangan butuh, kemudian pembatasan penelitian, ekspresi seni, dan seterusnya-seterusnya yang apalagi kalau itu dianggap sebagai agak terpengaruh atau menunjukkan unsur-unsur kiri ya. Kemudian ada penghilangan. Kemudian mahasiswa, dosen, kemudian juga para pejabat di pemerintahan, birokrat, dan seterusnya dari fungsi dan reposisi mereka karena dianggap tidak bersih lingkungan tadi. Kayak gitu. Nah yang terakhir itu yang juga sering terlupakan juga terjadinya perampasan aset pada level individu maupun organisasi. Tidak harus selalu dari kalangan kiri ataupun dalam KPKI. Tetapi bisa saja dari kelompok-kelompok yang berkonflik di lokal. Jadi ini kan menjadi isu politik yang sangat delikat gitu ya. Sangat-sangat rumit sekali sampai di atas rumput sampai isu apapun bisa dikenakan misalnya kelompok yang punya keuntungan atau dekat dengan kekuasaan bisa menggunakan isu ini untuk memaksakan gendaknya atau misalnya untuk merampas hak milik orang lain. Jadi yang tadi saya berikan ini adalah kurang lebih scoop dari berbagai masalah yang muncul. Pasca 65 itu teman-teman barangkali juga bisa membaca salah satu artikel yang cukup menarik dari Hilmar Farid yang apa namanya judulnya Original Sins itu sebenarnya apa membaca kurang lebih bahwa peristiwa 65 itu saya membuka bagi menguatnya kapitalisme di Indonesia kurang lebih seperti itu. Nah yang pernah saya. Melakukan penelitian lumayan agak agak luas itu adalah kebijakan yang apa yang menyangkut pembersihan dunia kampus ya tapi juga lembaga-lembaga pemerintah. Jadi saya mungkin bisa cerita sedikit tentang itu tapi sebelum kesana saya ingin menunjukkan jadi sebenarnya apa yang sudah diceritakan tadi oleh teman juga oleh Baroro ataupun saya ceritakan itu sudah ada. Jadi ini juga artinya, pada waktu itu, di dalam laporan Komnas HAM sebenarnya. Jadi ini juga artinya pada waktu itu lembaga negara sudah mengemakui ada hal tersebut. baik saya akan langsung ke ini jadi kalau dalam konteks tadi dunia akademik ataupun dunia penelitian yang qualified dampak dari 65 itu mulai terasa ketika sebenarnya tidak lama setelah setelah preprisi�way 30S itu kemudian berhasil dalam tanda petik dikendalikan ditumpas gitu Pak Harto waktu itu juga langsung menerbitkan dalam kapasitasnya sebagai pemegang pondali komando itu menerbitkan kebijakan kebijakan yang langsung berkaitan dengan upaya menutup beberapa jadi selain yang ditutup itu adalah organisasi-organisasi resmi terkait PKI organisasi kerakan mahasiswa organisasi buruh organisasi partai politik tentu saja juga adalah beberapa kampus yang ditengarai merupakan bagian dari PKI itu ya, jadi setidaknya misalnya di tahun awal-awal itu bulan Oktober juga ada 14 lembaga di situ termasuk Universitas Rakyat, kemudian HSI, ada beberapa yang lain juga, UNRA dan seterusnya kayak gitu, jadi ada berturut-turut itu ada beberapa penutupan kampus-kampus atau lembaga-lembaga yang langsung dianggap sebagai punya kaitan dengan PKI ini dilanjutkan dengan beberapa perintah peringkat berikutnya jadi ini juga hampir bersamaan juga dengan apa yang terjadi di banyak-banyak daerah yang lain, nah ini kemudian ditindaklanjuti secara sistematis oleh kementerian dulu namanya kementerian PTIP perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan jadi mengelarkan aturan itu yang kemudian intinya bahwa kementerian ini juga karena diperintahkan oleh OTI waktu itu oleh Pak Harto juga untuk melakukan upaya pemertaan terhadap siapa-siapa yang di lingkungannya dianggap mendukung G30S dan itu juga harus segera dipersihkan, lakukan lebih seperti itu jadi dari situlah kemudian berjalan proses yang disebut dengan screening nanti, jadi ini kurang lebih seperti ini chain of commandnya jadi screeningnya itu berlangsung dan itu melibatkan mahasiswa tapi juga tentara tapi juga papel rada namanya ya, jadi kayak gabungan dari pejabat sipil dan militer yang ada di daerah dan dipimpin langsung oleh tentara partai-partai tokoh dan pimpinan universitas bertanggung jawab untuk melakukannya di lingkungan mereka masing-masing, kurang lebih seperti itu nah mekanisme ini sebenarnya juga berlangsung nanti katakanlah misalnya lembaga itu tidak hanya perkeluhan tinggi tetapi juga lembaga-lembaga pemerintahan yang lain contoh misalnya Bank Indonesia itu juga ternyata belakangan juga saya baru tahu juga ada semacam hal yang sama, jadi upaya untuk supaya dipersihkan lah kurang lebih seperti itu nah hasilnya tentu saja nanti adalah saya sudah tunjukkan di beberapa kesempatan ada cukup banyak dari mahasiswa, kemudian dosen, peneliti birokrat yang harus kehilangan posisinya jadi sebagian memang karena dianggap masuk kategori A, B, atau C, jadikan itu kategorisasi yang dibuat berdasarkan tingkat keterlibatannya gitu kan atau dukungannya terhadap B3, B2, S tapi apapun itu saya hanya bisa mendeteksi bahwa ada yang kehilangan posisi atau dihilangkan atau diperhentikan dari posisi-posisi mereka jadi itu artinya kemudian kita harus lihat bahwa mahasiswa atau khususnya tapi dosen, peneliti ataupun para pejabat yang waktu itu menduduki posisi penting itu adalah mereka-mereka yang memang lahir dari proses apa namanya ya proses proses kalau dalam penduduk akademik artinya mereka produk intelektual dari tahun 50-an saat itu ketika Indonesia masih sangat terbuka artinya mereka bisa menyerap perkembangan dunia ataupun belajar dari belahan dunia manapun, baik dari blok timur maupun blok barat, kita juga jangan lupakan dari konteks besar dunia waktu itu blok barat, blok timur, kayak gitu jadi karena mereka ini kemudian dianggap kiri, berafiliasi dengan PKI atau misalnya ini, maka mereka kemudian harus dihirangkan jadi ibaratnya nanti ada satu generasi yang kemudian tidak ada lagi disana kayak gitu, jadi kemudian yang ada kemudian sisa yang ada lagi, kayak gitu ini juga terjadi di perusahaan-perusahaan jadi kalau teman-teman masih ingat juga misalnya ya perusahaan kereta api juga rupanya ketika terjadi tragedi bintaro itu itu disebabkan karena ada satu layer dari manajerial di KTK itu jangan hilang, termasuk juga para pekerja yang berampilan tinggi waktu itu, jadi sehingga banyak sekali pejabatan ataupun fungsi-fungsi yang hilang atau yang tidak tertutup lagi dan itu menyebabkan jalannya organisasi jalannya perusahaan menjadi limbung sehingga kualitas pengelolaan apa namanya pengelolaan kereta api menjadi buruk dan kemudian berdampak pada munculnya kejadian seperti yang kita ketahui sama ada kecelakaan dalam konteks pendidikan tinggi artinya nanti ini adalah beberapa yang bisa diidentifikasi jadi ada hilangnya beberapa ada satu generasi dari tahun 50-an yang itu apa namanya yang seharusnya itu kembali ke Indonesia dan mulai berkiprah untuk membangun bangsa untuk mengembangkan pendidikan dan sebagainya karena alasan politik-politik tersebut yang memang juga kadang-kadang juga ya politisasi gitu kan artinya tidak semuanya juga betul bahwa mereka ada sebagian dari mereka yang mungkin memang betul menjadi bagian dari PKI atau apapun tapi banyak juga yang tidak tapi akhirnya karena ini menjadi isu politik pada level kampus pada level kantor mereka harus kehilangan posisi juga kemudian juga kita lihat bahwa ada upaya yang sistematis untuk menghapuskan legacy mereka di beberapa kampus profesornya yang memang itu adalah terjerat terkait itu kata-katanya dihilangkan kemudian karena mereka juga tidak boleh dipakai lagi jadi ini juga sudah ada beberapa penelitian misalnya di dalam dunia pertanian sebenarnya di sebelum tahun 65 itu Indonesia cukup punya banyak misalnya ya penelitian tentang varitas-varitas padi unggul yang bisa cocok sekali dikembangkan pada tingkat lokal nah itu hasil karya tersebut kemudian tidak bisa lagi dipakai tidak boleh lagi dipakai dan dihilangkan kayak gitu apalagi hasil penelitian yang cukup sistematis cukup serius nanti akibatnya ketika Indonesia dipaksa untuk bersuatu pada pangan kan hanya bergantung pada varitas yang memang diproduksi oleh Amerika di institut di Los Banos Filipina selain artinya itu juga kan terkait dengan strategi kapitalisme global untuk menjadikan pertanian Indonesia bergantung pada impor padahal sebelumnya sudah ada upaya untuk menghasilkan varitas-varitas padi lokal yang jauh lebih cocok gitu untuk bumi Indonesia untuk tanah Indonesia dan kemudian juga ini tidak menyerangkan terjadi reorientasi ada pembalikan lah komitmen intelektual di banyak jadi orang kemudian mencari aman takut berbicara lantang berbeda pendapat dengan pemerintah dan seterusnya yang jelas perimbangan kerjasama akademik ataupun penelitian kan menjadi sangat cuplang ke blok timur ditutup nanti sebagian besar ke blok barat dan Indonesia menjadi sangat teramerikanisasi dalam hal pendidikan ini tidak hanya pada level universitas ya nanti sampai pada level pendidikan dasar kurang lebih dan kita semua tahu bahwa nanti ada melarang semua apapun yang dianggap sebagai marxist untuk diajarkan ini kemudian diterjemahkan secara agak serampangan pada level lokal jadi buku-buku apapun yang dianggap mengandung usur leftist atau marxist itu kan gak boleh ada di perpustakaan itu sampai dengan 98 kira-kira kayak gitu masih kayak gitu padahal bisa saja jadi misalnya contohnya juga kayak novel-novelnya pramudia itu kan gak boleh itu kan padahal kan pramudia gak berbicara sama sekali dia berbicara misalnya berbicara tentang kolonialisme kayak gitu kemudian juga ada kultur intelektual atau dan juga kemudian agak melemah ya aktivisme mahasiswa kemudian menjadi lebih terbatas riset minat penelitian khususnya waktu itu saya kira kalau sekarang juga semakin membaik ya karena iklim demokrasi pasca reformasi tapi tetap masih ada beberapa yang masih takut gitu menghindarikan itu agak tema-tema yang riskan dan cari penyakit kayak gitu kalau misalnya mencari jadi ada seperti itu dan universitas menjadi Indonesia menjadi semakin birokratis kapitalistik dan market orientated ini hanya bagian beberapa yang bisa di di apa namanya ya diidentifikasi karena sebenarnya kan dalam kenyataannya jauh lebih luas ya kita bisa baca dari dalam konteks kebudayaan dari Wijaya Herlambang bukunya ataupun dari beberapa yang lain jadi kalau bagi teman-teman yang mahasiswa atau apapun yang hadir kalau tertarik silakan coba ini karena sekarang juga perpustakaan nasional gitu misalnya apa namanya sudah ada arsip-arsip yang dibuka misalnya seperti itu jadi itu kesempatan sebenarnya untuk melihat lagi udah dan sekarang internet menjadi sangat tidak bisa bisa di dikendalikan 100% ya akan selalu ada kayak gitu tapi yang paling penting itu adalah kesadaran bahwa memang ini sebuah periode yang penting sekali yang mengubah banyak hal di Indonesia gitu kan dari sisi akademik atau intelektual maupun juga dari sisi yang lain kayak gitu jadi saya kira mungkin dari saya itu sedikit itu menambahkan dari apa yang disampaikan tadi Mbak Aworo nanti mungkin kalau ini bisa berdiskusi lagi kalau ada beberapa yang bisa kita apa namanya diskusikan lebih lanjut begitu Mbak terima kasih ya terima kasih Mas Wahid saya Ayu Mas apa namanya mau nanya Mas supaya kita kebayang aja ininya waktu itu kalau kita ngomong UGM aja sebagai contoh ya Mas berapa mahasiswa dan dosen yang berhentikan di tahun 65 Mas Wahid yang yang betul yang ada di data media dan di laporan resmi itu data sementara yaitu kalau saya tidak kira itu sekitar 3500 mahasiswa atau apa gitu itu ada di media dan nasional juga saya lupa ingatnya ya ada saya tulis itu tapi itu baru di UGM ya Mas ya iya itu baru di kampus kita ya betul segitu tapi nanti ada di beberapa bulan kemudian semacam informasi penyusulan jadi dari sekian banyak itu kalau tidak saya kira hampir bahkan 4000 nah itu hampir separuhnya boleh kembali ke kampus itu yang ada apa namanya ada ada penjelasan seperti itu tapi bagaimana sebenarnya setelah ke kampus kembali itu dan apakah misalnya mereka juga bisa dengan leluasa gitu tetap belajar atau apa setelah ada peristiwa seperti itu kan kita juga susah ya dan saya tidak bisa menemukan satupun dari mereka itu jadi mungkin ya mereka nggak mau ngaku juga ya kayak gitu kalau misalnya jadi itu dana yang tidak bisa kembali artinya ya apakah mungkin mereka dipenjara ataukah mungkin dihilangkan atau misalnya bersama menjadi yang apa kekerasan itu kita nggak pernah bisa memastikan saya kira saat di pembukaan bukunya John Rosa itu kan ada satu ya cerita tentang dosen muda dari Fakultas Ekonomi baru aja lulus dari Amerika kayak gitu ditemukan sudah meninggal sih waktu itu di Wonosobo atau apa dan dia ditemukannya karena apa itu namanya pakai celana jeans iya betul dicurigai karena pakai celana jeans ya dan memang sebelum 6.5 kan lumayan ya friksinya antara mereka yang mendukung Soekarno ataupun yang katakanlah sekolahnya di Blok Timur dengan yang Blok Barat itu dianggap ideologis itu pilihan ideologis padahal kan bisa saja waktu itu karena memang pilihan akademis atau apa kita nggak pernah tahu kan waktu itu sangat-sangat bisa betul-betul bisa masuk ke periode itu iya betul alasan saya tanya tadi soal UGM supaya kita semua terbayang apa ya magnitude-nya gitu kalau kekerasan yang terjadi di masa itu bukan saja dia ada di banyak daerah dan di masing-masing daerah bagaimana kekerasan bergulir itu sangat bergantung dengan konteks di daerah tentara waktu itu bekerjasama dengan siapa tetapi juga dia memasuki ruang-ruang sebenarnya ruang-ruang sipil ya pendidikan gitu apa namanya institusi pendidikan di bidang kesehatan, birokrasi dan banyak hal yang lain dan saya selalu saya selalu mengatakan kepada teman-teman bahwa kita itu yang rugi kita sekarang karena dari 4000 orang yang tadi mas Wahid bilang mahasiswa UGM baru UGM ya belum kampus-kampus lain ya yang terkena kekerasan menjadi korban kekerasan tahun 65 separuh tidak boleh sekolah dan banyak sekali yang anak-anak teknik anak-anak kedokteran sarjana pertama di keluarganya gitu ya yang mungkin jika mereka tidak tidak menjadi korban kekerasan mereka bisa berkontribusi terhadap bangsa kita gitu nah karena itu sebenarnya saya tadi tanya supaya kita semua terbayang bahwa dampaknya sampai sekarang masih terasa selain tadi soal kepemilikan tanah soal apalagi tadi di bidang kebudayaan dan sebagainya dan seterusnya terima kasih mas Wahid nanti kita lanjutkan diskusinya di sesi Q&A saya ingin bergerak ke mas Yohanes arsiparis kita silahkan mas Yohanes waktu dan tempat saya persilahkan oke baik terima kasih mbak Ayu saya akan sebenarnya akan merujuk ke ketiga apa poin yang saya ingin ajukan yang pertama saya akan membicarakan tentang infrastruktur impunitas dan kita melihat bahwa infrastruktur impunitas ini berkelindang dengan infrastruktur teror sepanjang dari tahun 1965 sampai hari ini itu satu dan saya bahkan di momen-momen tertentu infrastruktur impunitas itu seperti keping mata uang dengan infrastruktur teror yang kedua saya juga akan membicarakan tentang keping mata uang yang sama antara di satu sisi propaganda dan keping berikutnya adalah teror itu hal kedua hal yang ketiga saya melihat pembacaan kita tentang trauma tentang saya pikir tidak belum cukup mendalam karena kita kehilangan peran dari kalangan psikiatris atau psikolog yang untuk memahami tentang kesehatan jiwa problem kesehatan jiwa ini penting karena kalau kita mau bicara transformasi dari satu apa terhadap masyarakat ke masyarakat yang lebih baik kita harus membicarakan tentang soal-soal kesehatan jiwa kesehatan jiwa memang adalah persoalan individual tetapi ketika yang mengalami itu dengan skala identitas sebesar pembantaian masa tahun 65-66 maka kita bicara sebenarnya kejiwaan dari bangsa jadi itu yang harus kita lihat bahwa apa yang dialami baik itu korban anak korban baik itu pelaku dan keluarganya termasuk orang awam yang tidak terlibat sama sekali itu apa yang terjadi tahun 65 saya pikir begitu mendalam dan masih banyak kegelapan yang kita harus gali yang membentuk bangsa ini misalnya orang bilang setelah 30 tahun suharto jatuh ini kok gak ada kemajuan termasuk dari gerakan sosialnya tidak maju pula kegiatan politik rakyat juga semu dan sebagainya jadi memang bukan hanya lepas dari kumpulan itu dan pada faktanya satu rezim otoriter tapi faktanya bahwa infrastruktur teror dan impunitasnya masih berlangsung sampai hari ini itu beberapa poinnya yang pertama saya akan masuk tentang infrastruktur impunitas ada satu buku baik yang ditulis oleh Elizabeth Drexler dia menulis tentang infrastruktur impunitas pada intinya dia mengkaji tentang apa yang terjadi tahun 65 sampai hari ini jadi soal impunitas itu bukan hanya soal ketiadaannya keadilan tapi itu ditopang oleh sebuah infrastruktur yang kompleks dan luas itu meliputi bidang hukum meliputi bidang budaya dan termasuk penulisan sejarah dan sebagainya politik dan bahkan demokrasi dan kalau kita bicara impunitas, infrastruktur impunitas kita tidak bicara tentang kekebalan hukum dari para pelaku kejahatan kemanusiaan tapi di dalamnya mengandung juga apa namanya demonisasi terhadap para korban jadi mencemarkan korban misalnya bilang bahwa korban yang terus menerus dipersalahkan itu ada dua hal kenapa korban terus dipersalahkan untuk membenarkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh negara jadi di infrastruktur impunitas mengandung tidak hanya infrastruktur yang menjaga kekebalan hukum dari para pelaku tapi juga sekaligus itu adalah tindakan mencemari reputasi korban dan itu bukan hanya korban tapi lintas generasi misalnya soal para tapol itu tidak hanya para tapol mengalami kekerasan atau represi atau pembatasan kebebasan setelah mereka bebas tapi hingga anak dan cucunya kesulitan mereka mendapatkan sekolah kesulitan mereka kemudian menduduki beberapa posisi pegawai negeri dan sebagainya dan stigma itu juga terus berlangsung stigma itu dipertahankan melalui infrastruktur ini pelakunya bisa saja negara bisa saja sesama masyarakat sipil ini menjadi penting kita pahami dua hal ini bahwa ada infrastruktur tetapi di belakang infrastruktur sebenarnya ada keping yang sama infrastruktur teror tadi itu dalam kerangka juga untuk menjaga kekebalan impunitas dari para pihak kita tahu sampai hari ini misalnya terakhir tentang pahlawan nasional Soeharto kita melihat misalnya teman-teman yang meng-counter atau menolong secara terbuka juga mendapatkan serangan yang entah itu apa melalui media sosial ya kita melihat demonisasi terhadap orang-orang yang coba mengatakan bahwa ini pilihan yang salah bahwa Soeharto adalah penjahatan dan sebagainya tapi kemudian mereka melalui media sosial mendapatkan tekanan yang luar biasa dan itu bukan sekedar debat atau kritik kita sudah bisa melihat teror di dalamnya dan ada beberapa infrastruktur teror dan impunitas ini paling tidak saya merujuk ke hari ini yang lagi-lagi muncul pertama tentang kembalinya militerisme atau difungsi militer itu adalah salah satu basis infrastruktur dari teror dan impunitas kalau kita perhatikan tidak berhenti di sana kita harus juga lihat misalnya kita kemarin membicarakan di sisi arbi demilitarisasi tapi yang fondasi paling kuat dari militerisasi negeri ini adalah komando teritorial yang dia paralel dengan birokrasi sipil sampai ke tingkat desa ada babinsa dan sebagainya itu yang kedua tentang penulisan sejarah Kate McGregor menulis buku yang sangat baik sejarah berseragam mencoba membongkar ideologi militer dalam penulisan sejarah Indonesia kita bisa melihat di dalam buku ini tentang glorifikasi tentang peran militer bahwa mereka penyelamat bangsa pembela Pancasila blablabla dan sebagainya bahkan kita tahu faktanya mereka membela sebuah sistem misalnya kapitalisme dan sebagainya jadi dan itu penting dan kita juga punya masih punya juga infrastruktur impunitas dan teror adalah peran militer nomor 25 tahun 1966 yang berupa pelarangan terhadap partai komunis Indonesia dan ajaran-ajaran marxisme lenisme dan sebagainya ini kita membaca tapemer ini saya pikir saya akan memperkenalkan juga tentang genosida bahwa apa yang terjadi di tahun 65-66 kalau Komnasya mengatakan itu pelanggaran kurat hak asasi manusia atau kejahatan terhadap kemanusiaan tapi sebenarnya penelitian Jess Melvin paling gak meneguhkan bahwa apa yang terjadi yang sesungguhnya terjadi adalah genosida pada masa itu dan kalau kita lebih mendalam lagi jenis genosidanya adalah genosida politik karena dia menyasar kelompok protik tertentu komunis dan kelompok kiri lainnya ... itu yang dalam definisi genosida adalah semua tindakan apapun yang bertujuan menghancurkan atau membinasakan suatu kelompok tertentu bisa kelompok politik bisa kelompok ekstri dan sebagainya nah genosida politik ini berguna untuk ada kawan saya yang mengatakan bahwa genosida masih berlangsung sampai hari ini apa buktinya satunya tapempr dengan tapempr ini maka dicegah lahirnya kelompok-kelompok kritis yang kalau kita bicara ilmu pengetahuan, teori kritis itu tidak bisa lepas dari sumbangan dari Karl Marx salah satunya jadi genosida politik masih berlangsung sampai hari ini karena kelompok politik itu sampai hari ini masih dilarang, dicegah kelahirannya sampai hari ini jadi kalau kita bilang juga instruktur teror ini juga bekerja untuk mencegah mencegah kelompok politik yang dilarang di tapempr tapi juga semua kelompok politik kritis lainnya yang menentang atau mengkritisi rezim jadi devisi ini perlu untuk kita memahami sebenarnya tapi yang menarik juga dalam genosida politik itu juga ada unsur yang berupa pembantaian, pembunuhan masal tetapi juga ada segala tindakan untuk merusak tubuh dan mental dari kelompok politik tertentu dan keturunannya kita kan ada keanehan bahwa anak PKI pasti anaknya secara biologis dan ideologis akan menjadi PKI kan ada pandangan semacam itu, maka yang dihukum tidak hanya korban orang tuanya tapi anak-anaknya juga terhukum secara berkepanjangan dengan diskrimasi, dengan stigma pelarangan bekerja di jabatan-jabatan sipil hambatan untuk sekolah dan sebagainya jadi itu beberapa poin dari saya poin pertama, tapi saya mengusulkan kawan-kawan juga ada beberapa bacaan yang saya pikir penting yang pertama tentang infrastruktur impunitas yang ditulis oleh Elisabeth Drexler buku ini sedang proses penerbitan bahasa Indonesia oleh GDN yang akan terbit bulan Desember, tapi juga ada satu buku lama yang Terror Orde Baru Penyelewan Hukum dan Propaganda ini penting yang terbitkan oleh Pobam waktu itu Julia Southwood dan Patrick Flanagan, ini penting kita baca, terus kalau kita bicara infrastruktur impunitas di bidang hukum baik adanya kita membaca buku Dua Dasar Ruasa Nirpidana Kajian Kontras dan teman-teman Universitas di Makassar sana yang meneliti tentang pengadilan HAM khususnya tentang pelanggaran HAM, berat HAM masa lalu, ini meneliti tentang bagaimana instrumen hukum dan juga pengadilan adalah bagian dari infrastruktur impunitas secara khusus kita juga saya pikir penting untuk membaca tentang buku Kate McGregor ketika sejarah berseragam membongkar ideologi militer dalam menyusun sejarah Indonesia dan masih relevan sampai hari ini terakhir dilakukan tidak lagi oleh militer, tapi oleh Pak Dilison, dan tetap saya pikir apa yang diwariskan Nugroh Noto Susanto dengan sejarah Indonesia yang berseragam itu, masih terus bertahan sampai hari ini tentu di bidang budaya kita bisa baca bukunya Herlambang, Wijaya Herlambang kekerasan budaya pasca 65 bagaimana tadi terkait juga yang disampaikan Bung Wahid tentang pelarangan buku dan sebagainya semua dikendalikan sampai saya pikir sampai hari ini dengan menyita beberapa buku yang dianggap tanda petik ketika aksi Agustus Tembuhari dan penting juga membaca ini yang saya pikir menjadi titik inti dari teror order baru yang dimulai dari lubang buaya bukunya Saskia saya pikir masih relevan tentang penghancuran gerakan perempuan politik seksual pasca bahkan sampai pasca kejadian, jadi ada politik seksual yang kontrol dan kendali terhadap tubuh dalam hal ini tubuh perempuan dan bagaimana kita mendirikan tentang gender perempuan dan sebagainya dan itu adalah salah satu titik pemicu, titik penting terjadinya pembenaran terhadap genosida, nanti saya akan masuk di keping kedua dan ada satu buku yang memang bukan secara khusus mengkaji 65 tapi masih terkait dengan kekerasan seksual, bukunya Kate McGroger lagi tentang systemic silencing dia sebenarnya mengangkat tentang Ian Fu, budak seks masa Jepang buku ini sangat baik bahwa infrastruktur impunitas dan teror ini bekerja secara sistematik untuk pemisuhan systemic silencing itu hal pertama yang saya mau sorot, yang kedua tentang keping mata uang kedua, propaganda sekaligus adalah teror di keping berikutnya saya akan bicara ada dua lapis teror yang terjadi pada tahun 1966 teror pertama adalah propaganda Orde Baru Suharto maaf Orde Baru belum bermulai Suharto adalah tentang demonisasi terhadap PKI dan gerakan kiri termasuk Gerwani dan sebagainya demonisasi ini juga sekaligus saya pikir apa namanya menciptakan ketakutan teror, misalnya kita melihat ke lubang buaya, apa yang terjadi yang tadi saya kaitkan juga dengan bukunya tentang politik seksual disana digambarkan bahwa perempuan gerwani, pemuda rakyat melakukan tari seksual sepanjang apa yang terjadi di lubang buaya yang kedua, dikatakan juga perempuan perempuan ini kemudian menyelet-nyelet para jenderal kemudian memutilasi dan mencungkil mata jenderal tidak berhenti disitu sebenarnya kita dikatakan dalam propaganda militer ditemukan ribuan lubang-lubang lain di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke untuk tempat menguburkan mayat-mayat yang dibunuh oleh PKI yang akan dibunuh oleh PKI itu dilakukan di semua tempat termasuk ditemukan alat-alat pencungkil mata ditemukan senjata yang katanya konon datang dari Cina dan kita bisa melihat misalnya di Buton terjadi kekerasan massal sebenarnya tahun 1967 salah satu isunya bahwa di sana disimpan senjata-senjata yang datang dari Tiongkok, jadi kawan-kawan bisa melihat apa yang terjadi di Buton ada di perusahaan online dan dikatakan juga ditemukan daftar-daftar target orang-orang yang akan dibunuh oleh PKI itu juga massif ini adalah teror tapi terornya adalah men-teror rakyat dengan menggambarkan PKI sebagai monster sebagai penjahat, sebagai iblis dan sebagainya, itu kan merupakan teror diharapkan ada ketakutan massa ada kepanikan dan plus amuk massa yang diharapkan itu yang mereka lakukan sama satu lagi tentara militer pada saat itu menggambarkan ini situasinya situasi perang pilihannya hidup atau mati jadi dengan penjelasan dengan propaganda tadi adalah dasar bahwa ini situasinya perang nih PKI dengan persenjataan akan melancarkan pembunuhan kemudian mereka mengatakan ini pilihannya hidup atau mati, ini adalah jihad untuk membela agama dan bangun negara tapi di belakang itu juga ada teror jadi kayak gini, kalau kalian tidak ikut menumpas PKI kalian adalah pendukung PKI dan kalian mesti mati misalnya kita banyak kesaksian dari para pelaku yang karena terpaksa dia melakukan itu dia bilang ya kami seperti ini kalau kami tidak melakukan ini kami menjadi target jadi itu terjadi di banyak tempat para pelaku bahkan sampai yang tukang gali kubur pada masa itu juga ini pilihannya kalau saya tidak mendukung upaya pembinaan ini, maka saya bisa ditutup sebagai simpatisan PKI jadi ada lapis teror yang luar biasa yang terjadi pada masa itu dan kemudian teror yang sebenarnya adalah apa yang dilakukan oleh aparatus militer dan para pendukungnya para militer dan sebagainya dalam bentuk teror dari kekerasan sosial, eh kekerasan seksual sampai pembunuhan, pembantaian dan sebagainya kalau kita pelajari temuan Jess Melvin dan ini terjadi di banyak tempat, sebelum terjadi pembantaian massal biasanya ada rapat umum rapat umum mengkonsolidasikan perlawanan dengan propagandanya kemudian di tahap kedua biasanya ada konsolidasi ormas-ormas para pendukung yang mereka menyerang kantor-kantor PKI atau SOPSI dan sebagainya sampai menangkap dan melakukan pembunuhan secara terbuka tapi kita harus paham juga bahwa pembunuhan terbanyak itu adalah mekanisme penghilangan paksa jadi para tahanan yang kemudian ditahan di tempat yang ribuan tempat itu kemudian dibunuh di satu tempat, misalnya yang kasus tadi yang disebut Wonosobo yang salah satu dosen UGM itu ada juga pola bahwa mereka diangkut dari Jogja dan dibunuh di Wonosobo, jadi ada silang wilayah juga nah saya tidak mengatakan bahwa tentara militer pada waktu itu secara sadar dan itu sebelum peristiwa terjadi, mereka menyiapkan infrastruktur impunitas dan teror dengan semua infrastruktur yang mereka bangun, termasuk komando teritorial, terus waktu itu ada komando, ada KOTI namanya yang waktu itu dibangun untuk menantisipasi konfrontasi dengan Malaysia, tapi itu struktur itu secara masif digunakan untuk menjadi apa mesin kekerasan massal pada saat itu saya katakan kenapa infrastruktur impunitas sudah dimulai pada saat itu saya bisa ambil contoh beberapa fakta ya versi tentara pada masa itu sampai hari ini kekerasan massal itu terjadi karena kekerasan horizontal jadi ada amarah dari kelompok-kelompok anti PKI anti komunis, anti kiri untuk membalas dendam apa yang sudah dilakukan, jadi yang digambarkan itu adalah konflik horizontal sampai hari ini kalau kita lihat di simposium 65 yang diadakan beberapa tahun lalu tetap premisnya adalah ini konflik horizontal sampai dengan PPHM hari ini mereka kira-kira mengindentifikasi identifikasi korban, tapi tidak ada mengidentifikasi pelaku bagaimana ada korban tanpa ada pelaku jadi itu sudah dibangun termasuk ini pernyataan dari RPK kami datang untuk menghentikan pembantaian masyarakat yang dilakukan oleh kelompok anti komunis itu yang selalu disebarkan jadi peran ini adalah hero mereka kemudian mencegah pembantaian menjadi lebih meluas lagi jadi saya kita harus mengatakan bahwa mereka secara sadar sudah memikirkan tentang infrastruktur impunitas lain infrastruktur teror yang sudah dibangun saya pikir dari tahun 50-an bahkan kalau kita tarik dari awal revolusi tentang kelompok-kelompok militer yang berkontra dengan satu ini yang kedua saya mau masuk yang ketiga yang terakhir mungkin singkat 2-3 menit karena masih ada baik saya hanya mau mengatakan baru-baru ini ada beberapa buku yang ditulis oleh Hans Pols dia melihat hubungan antara genosida 65 juga kerasan masa lain dengan trauma dan psikiatri saya hanya mau menggambarkan untuk mengusulkan kawan-kawan untuk memahami lebih dalam ada ada berapa film dan buku yang penting misalnya coba perhatikan film For Three Years of Silence Lemelson itu menceritakan tentang empat anak korban 65 di sana juga ada degung santikarma di film itu melihat bagaimana efek dari peristiwa itu trauma yang dibawa sampai stigmasi dan yang kedua juga ada satu film juga yang di apa di bikin Remlosen untuk dia menceritakan tentang kondisi kegilaan atau kegangguan kesehatan jiwa yang dialami korban anak korban itu judulnya Sedo Illumination Trauma and Genocide 65 itu penting dan saya pikir juga ada satu novel penting untuk kita memahami lebih dalam tentang trauma tentang gangguan kesehatan jiwa yang dialami oleh banyak orang baik itu pelaku keluarga pelaku korban keluarga korban ataupun orang lain bagaimana mereka menyaksikan misalnya anak-anak korban ada yang bapaknya menjadi tapol mereka dipisahkan atau orang tuanya ada juga anak-anak yang menyaksikan pembantaian orang tua jadi itu keragaman itu penting termasuk konteks daerah tadi sudah disebutkan Bali NTT ada kekasan bahwa ini berkelindahan dengan persoalan agama dan sebagainya dan saya pikir novel ini juga menggambarkan hal khusus yang kita bisa dapat tentang pengalaman kekerasan berlapis yang dialami perempuan Tionghoa jadi bahwa ada pada saat 65 itu di satu sisi ada kekerasan yang kekerasan politik tapi juga ada kekerasan rasial termasuk orang Tionghoa menjadi target dan sasaran dan juga dalam beberapa buku kita lihat tentang kekerasan seksual yang kita tahu dampaknya itu tidak bisa sepenuhnya hilang dan saya kutip pernyataan Ibu Nani Utoyo psikologi juga dia mengatakan trauma dan luka batin sudah menubuh tidak bisa sepenuhnya hilang nah ini pentingnya kita mempersoalkan apa yang dialami individu ini tapi karena skala intensitasnya luas maka kita bicara tentang kejiwaan bangsa ini jadi dari fenomena psikiatri menjadi fenomena sosiologis dan ini kita belum cukup membaca tentang apa dampak atau impact yang terus melekat pada tubuh bangsa ini dan tubuh banyak orang itu saja terima kasih Mbak Ayu maaf agak kepanjangan tidak apa-apa memang tidak mungkin membicarakan kekerasan 65 dalam satu pertemuan ini bukan topik yang bisa didekati dengan sistem kebut semalam tapi saya menghargai sekali cerita apa ya presentasi dari Yohannes tadi karena menggarisbawahi bahwa banyak hal dampak dari kekerasan 65 waktu itu sebenarnya masih kita rasakan sampai sekarang dan kita akan membahas topik-topik itu secara mendalam di pertemuan-pertemuan ke depan semoga kami bisa mengundang nama-nama yang tadi disebut saya ketika mendengarkan Om Yohannes saya selalu kembali kepada dugaan saya selama ini kita selalu membayangkan periode setelah reformasi itu sebagai periode yang sulit tapi jangan-jangan kesulitan itu muncul bukan karena demokrasi itu tidak baik tapi justru karena ada banyak sekali dampak dari order baru yang perlu kita urai satu-satu dan itu sampai sekarang belum selesai jadi yang salah itu bukan reformasinya yang salah itu karena dampak order baru yang begitu luas termasuk urusan imponitas tadi kita sekarang bertanya kenapa sih pelaku kekerasan gak pernah bila dihukum oleh polisi kenapa orang korupsi bisa lewat begitu saja kenapa kemudian kalau orang mengalami kekerasan oleh aparat juga kayaknya aparatnya tinggal disuruh minta maaf nah ini kan hal-hal seperti ini yang sebenarnya tidak ada hubungannya mungkin bisa jadi hubungannya sedikit dengan apapun yang terjadi setelah 98 tapi lebih berhubungan dengan apa kekerasan selama order baru yang juga sama sekali enggak tersentuh jadi terima kasih sudah membantu menjembatani apa yang mengkoneksikan apa yang terjadi di tahun 60-an dengan apa yang kita alami sekarang kita tidak sedang membicarakan masa lalu sebenarnya kita sedang membicarakan kita sekarang dengan menengok apa yang terjadi di masa lalu Ibu Uci apakah masih bersama kami disini sekarang mari kita terima kasih Ibu sudah bertahan di sedemikian larut semoga wedang serai nya masih ada tempat dan waktu saya serahkan kepada Ibu Uci mari teman-teman kita dengar kesaksian dari rekan-rekan yang mewakili keluarga penyintas generasi pertama sampai ketiga silahkan Ibu Uci selamat malam waktu Indonesia Barat tentunya terima kasih sudah diajak bergabung di ruang yang cukup penting ini mendengar paparan dari ketiga narasumber ada Roro, Mas Wahid dan Mas Andreas rasanya saya cuma ingin bilang oh iya benar memang begitu karena apa yang dipaparkan disampaikan oleh Roro Mas Wahid dan juga oleh Mas Andreas itu ya benar dan disini saya sebagai korban yang oleh Komnas HAM saya disebutkan sebagai korban langsung kenapa korban langsung sekalipun saya tidak ditahan oleh ayah dan ibu saya karena pada saat itu usia saya 13 tahun saya sudah melihat apa yang terjadi mendengar dan juga merasakan akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa 1965 jadi bagi saya kalau menyebut 1965 yang ada di kepala saya adalah pada bulan Oktober setelah 5 Oktober 1965 terjadi sebuah perubahan besar di diri saya saya yang semula seorang remaja dengan cita-cita tinggi semangat belajar dan juga saya bangga punya ayah dan ibu yang selalu mendidik saya untuk cinta tanah air cinta rakyat yang bekerja dan juga justru cinta Tuhan itu di paling belakang bukan didahulukan kalau sekarang tentu Tuhan dulu yang didahulukan saya tidak mempermasalahkan itu tapi yang saya akan sampaikan adalah bagaimana setelah 5 Oktober pada tahun 1965 itu apa yang saya lihat apa yang saya rasakan jadi 5 Oktober tentu dimulai dengan pengepungan rumah dinas ayah saya di Cilacap itu akan selalu saya ceritakan entah bosen entah tidak yang mendengar atau mungkin kok itu itu terus karena saya tidak bisa mengubah itu adalah sejarah hidup saya bahwa sejak 5 Oktober itu saya melihat pengepungan rumah dinas ayah saya dimana yang mengepung itu mengenakan pakaian hitam hitam dan juga ada baret dan diantara masa itu yang saya lihat dari jauh itu juga ada baret merah nah itu yang saya lihat dengan mata seorang yang berumur 13 tahun dan saya kelas 2 SMP waktu itu kemudian setelah itu kami satu keluarga diselamatkan oleh polisi dengan kata-kata yang pertama kami diamankan lalu kami satu keluarga dibawa dengan mobil polisi dibawa ke Purwokerto kira-kira 30 kilo dari Cilacap dan disana kami ditempatkan di rumah jabatan resident nah waktu itu resident itu menjadi penghubung gubernur nah dari situlah saya melihat oh iya kita betul ya diamankan artinya diamankan dari amok masa nah tadi semua pembicara yang terdahulu sudah menceritakan amok masa itu bagaimana dan karena apa dan itu yang saya alami kemudian kami terlepas dari amok masa setelah itu ternyata saya tidak bisa berlama-lama disitu saya harus pulang ke rumah mbah karena tidak mungkin lagi kembali ke Cilacap saya kembali ke rumah nenek dan ternyata rumah nenek juga sudah dirusak oleh masa karena itu dianggap rumah orang tua saya oke kemudian dirusak masa dan saya harus tinggal di pengungsian bersyukur ada keluarga ada saudara yang mau menampung kami dan kemudian 1 November 1 November ayah dan ibu saya diambil oleh CPM dari Purwokerto katanya dipanggil gubernur ternyata ibu saya baru kembali 8 tahun kemudian setelah ibu ditahan di penjara Mbulu Semarang dan ayah saya dipindahkan ke berbagai penjara sampai terakhir di Nusa Kampangan 15 tahun kemudian baru bebas baru pulang ke rumah nah apa sih yang saya alami itu apakah cukup bagi order baru untuk menyakiti anak-anak ternyata tidak karena disengaja atau tidak kami anak-anak itu sudah tercerai berai dari keluarga artinya kami terpisah bersyukur kalau ada orang yang mau menampung kami kalau saya bersyukur banget punya nenek yang mau mengurus kami dan benar-benar mendukung nenek itu benar-benar menjadi penggantinya ibu tentu berbeda ya pola asuh ibu dan pola asuh nenek tapi tetap itu saya syukuri teman-teman lain nasibnya tidak sama dengan saya mungkin sekitar jutaan anak yang mengalami kondisi yang buruk misalnya dia dititipkan ke saudara karena memang tidak bisa memang harus dititipkan kalau anak satu keluarga anaknya lima tidak mungkin itu dititipkan ke satu keluarga itu harus dititipkan ke mungkin tiga keluarga tergantung kemampuan dari keluarga itu apa yang terjadi walaupun itu saudara itu mereka menolak menolak anak-anak anak-anak enam lima walaupun itu saudara karena mereka takut nanti akan apa terbawa-bawa atau menjadi tadi ada disebut bersih lingkungan mereka juga terancam itulah yang dihadapi oleh anak-anak yang tumbuh pada saat tahun 65 nah selain itu kami juga sebagai anak-anak melihat bagaimana tetangga kanan kiri kami atau mungkin juga temannya ibu temannya bapak dan banyak orang itu yang ditangkap mereka dipenjarakan dan kembali lagi kami juga mendengar bagaimana ada teman-teman anak-anak perban 65 itu yang selalu bercerita oh bapakku udah gak ada dong gak ada kemana iya bapakku ditembak bapakku dibunuh dibuang kesini cerita-cerita itu selalu ada dan kami dengar hingga tahun 66 dan itu saya dari bulan November sampai tahun 66 pembunuhan terus menerus apa kami dengar walaupun saya tidak melihat tapi selalu mendengar nah itulah yang terjadi kemudian bagaimana dengan anak-anak yang pertama anak-anak yang ditinggalkan oleh bapak ibunya di dalam itu mendapat label mendapat stigma anak PKI anak Gerwani dan disitulah anak-anak yang mendapatkan label itu bisa juga menutup diri karena apa label anak Gerwani anak PKI itu membuat anak itu jatuh kehilangan harga diri nah itu kondisi yang terjadi pada saat itu agar teman-teman bisa melihat bagaimana anak-anak sebaya saya mungkin juga anak-anak yang sekarang tergabung di dalam paduan suara dialita itu tumbuh dan berkembang tumbuh dan berkembang di dalam teror tumbuh dan berkembang dengan stigma yang terakhir tumbuh dan berkembang sudah sekolah tinggi pakai menjadi pembantu rumah tangga kenapa saya bilang pembantu rumah tangga walaupun kita itu ikut saudara tapi kami disekolahkan harus membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangga itulah situasi saat itu nah kemudian dalam situasi kayak gitu udah ada stigma, ada trauma sekolah susah bisa lulus nih cari kerjaan susah karena ketika kami sudah selesai cari pekerjaan ada peraturan-peraturan dari pemerintah mungkin nanti Ayuk dan teman-teman yang bisa mencari peraturannya itu di kementerian apa gitu ya kalau saya hanya bisa bercerita apa yang kami rasakan saat itu kita tidak boleh jadi guru, jadi pegawai negeri, jadi tentara apalagi kemudian jadi wartawan jadi dalang bahkan jadi pendeta pun kita tidak bisa jadi dari situlah anak-anak 65 itu harus hidup, kenapa harus sampai sekarang miskin ya karena memang sistem itulah yang memaksa yang membuat kami itu miskin dan bodoh yang punya kesempatan sekolah ke perguruan tinggi sedikit sekali kalau sudah bisa lulus dari perguruan tinggi tidak bisa bekerja dengan baik bahkan ada yang lulus dengan ada lulusan SMA kemudian menjadi pegawai negeri karena ayahnya tentu tidak menggunakan nama ayahnya yang sesungguhnya itu tidak mau untuk lanjut kuliah karena mereka bilang untuk apa saya kuliah kalau toh nanti kami juga ada screening untuk apa nanti apa yang sudah saya dapatkan sekarang artinya hidup yang tenang dengan gaji dengan rumah yang nyaman menjadi hilang dan itulah teror yang tidak akan bisa hilang dan kemudian cerita-cerita tentang anak-anak 65 itu juga saya dengar saya kumpulkan dan banyak lagi lalu itulah situasi yang terjadi pada tahun 65 kalau diceritakan kok isinya sedih terus ya isinya sakit, isinya stigma isinya trauma itu yang terjadi jadi kalau misalnya teman-teman muda melihat kok ibu-ibu aneh ya itu, ya aneh lah karena kami tumbuh dan berkembang dengan stigma, trauma dan juga diskriminasi, tiga hal itu yang membuat anak-anak 65 menjadi berbeda mungkin berbeda dalam bersikap, berbeda di dalam melihat satu persoalan gitu ya karena tumbuh kembangnya dan yang terakhir juga kenapa anak-anak 65 menjadi kuat ya karena kita sudah tertempa dengan segala penderitaan satu hal yang mungkin akan saya ceritakan pada saat itu kami masih anak-anak tahun 66 gitu kami itu apa ya ini saya cerita tentang adik saya di sekolah dia tahu bahwa temannya yang baru lingkungannya tidak mengenal siapa dia tapi adik saya mengenal yang baru datang teman barunya di sekolah itu dia adalah putri dari teman ibu dia adalah seorang apa pimpinan gerakan di DPP tapi dua anak ini yang masih umurnya masih 12 tahun sudah duduk di kelas 1 SMP ketika melirik mereka tidak pernah bicara di kelas itu seakan-akan tidak kenal jadi itulah semesta yang mendidik anak-anak ini untuk tidak berbicara, tidak bercerita tidak mengatakan dan mereka saling menjaga menjaga identitas baru setelah reformasi baru mereka bisa bercerita dengan leluasa nah itu cerita-cerita saya tentang yang sudah berulang kali mungkin diceritakan masa-masa waktu itu jadi kami hidup dan berkembang dengan stigma, trauma dan juga diskriminasi yang pasti teror karena ancaman-ancaman itu akan selalu datang nah kemudian apa sih yang dilakukan oleh Soeharto pada saat itu ya semua itulah mereka memenjarakan orang tua kami mereka juga ya dia ya yang menginstruksikan untuk menghabisi saudara-saudara kami saya mungkin perlu sampaikan ayah saya 6 bersaudara 5 itu 4 ditahan 1 hilang dan yang hilang adalah seorang perempuan tante saya baru lulus dari igip negeri semarang sarjana muda kemudian menjadi guru di sebuah SMP ditangkap dan masuk ke peteng pendem ambarawa beberapa waktu tahun bulan Juni kami tengok kami akan ngirim kesana sudah tidak ada dan istilah waktu itu dia dibun dan sampai saat ini saya tidak tahu dimana kuburnya jadi itu dari keluarga ayah saya 1 korban jiwa dan yang 4 itu ditahan bayangkan jika itu ada sekian juta orang yang mengalami seperti saya jadi hari ini saya tidak akan bercerita tentang penderitaan tapi ini bercerita sekedar mengingatkan latar belakang kami seperti itu nah kemudian setelah kami hidup dalam penderitaan selama kepemimpinan suharto selama 32 tahun datanglah masa reformasi apakah itu disebut order reformasi atau apa bagi saya tidak penting yang penting reformasi itu melengsarkan apa melengsarkan suharto waktu itu sungguh kami itu tidak tidak percaya benar ini bisa lengsar ternyata mahasiswa itu sanggup melengsarkan suharto dan bagi kami apapun reformasi itu mungkin ada yang mengatakan kurang reformasi mati reformasi jalan ditempat apapun itu tapi bagi kami korban penyintas peristiwa 1965 reformasi adalah angin segar karena ketika reformasi itulah kami baru bisa bertemu artinya bertemu dengan tidak bersembunyi biasanya kami bertemu tentu kalau zaman dulu ketakutan untuk ketemu saja itu sulit sekali kemudian reformasi kenapa menjadi angin segar karena pertama ada perjumpaan kami bisa berbicara walaupun mungkin baru bisa seperti itu kita bisa mengumpul bercerita dan pada tahun 1999 mulailah bermunculan organisasi yang didirikan oleh para korban korban dalam hal ini saya lebih senang menyebutnya juga para mantan tahanan politik karena tahanan politik itu korban dari suharto korban dari suharto itu ada mereka yang dihilangkan kemudian ada yang ditahan dan tempat penahanannya saya pikir semuanya sudah tahu ada dari semua tahanan rumah penjara di indonesia itu menjadi tempat penahanan kemudian yang terbesar di pulau buru dan juga di pelantunan nah disitulah mereka mulai mendirikan organisasi dan disitu juga sejak reformasi itu saya mulai mengenal para senior para mantan tahanan politik yang tersebar di seluruh indonesia dan dari situlah saya belajar memahami para senior ini cerita-cerita itu yang saya kumpulkan dan hingga hari ini saya saya tidak bisa berpisah dengan cerita-cerita yang dan juga dengan pemilik cerita itu kenapa karena belialah sebenarnya sumber sejarah juga sumber kekuatan beliau sudah menghadapi banyak hal tapi masih bersemangat mendirikan organisasi melakukan perlawanan dan bahkan perlawanan apa mereka para senior ini menuntut agar kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 65 itu diselesaikan nah pada tahun 2000an menuntut pemerintah untuk mengakui itu bukan hal gampang ketika saya sampaikan pemerintah harus mengakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di indonesia ada yang mengatakan apakah itu mungkin saya bilang jika tidak ada segala sesuatu yang tidak mungkin di dunia ini itu mungkin saja cuma waktunya kapan saya tidak tahu jadi setelah reformasi itulah kami bisa bertemu dan berjumpa dengan para korban dengan keluarga korban dan disitulah sebenarnya sebuah ruang belajar bagi saya untuk mengenal para korban dengan lebih dekat lalu pada tahun 2005 jadi 6 tahun setelah reformasi dan tahun 2005 itu 40 tahun setelah terjadinya peristiwa 65 kami baru bisa berkumpul antara anak-anak korban seperti ada Mbak Nasti ada Svetlana ibunya Bimo banyak-banyak yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu kemudian kami bertemu dan saya lebih senang mengatakan perjumpaan perjumpaan antara anak-anak korban itu mempunyai arti tersendiri bagi saya kenapa karena saya merasa tidak sendiri lagi saya merasa punya teman dan memang teman yang sama-sama mengalami penderitaan itu berbeda artinya saya tidak merasa paling menderita setelah saya mendengarkan misalnya ceritanya Mbak Svetlana dia dengan dengan bercucuran air mata ketawa kami tertawa tapi air mata itu keluar bagaimana dari seorang anak menteri kemudian harus tinggal di desa di Batu Retno yang harus menimba air memandikan adiknya dia ceritakan dengan tertawa tapi air mata itu tetap keluar nah ternyata dari perjumpaan inilah kami itu menjadi lebih kuat karena ada semangat ada oh kita tidak sendiri penderitaan saya tidak lebih berat dari yang lain kita sama-sama mengalami penderitaan itu kemudian setelah perjumpaan itu ada ide gimana ya kalau kita itu kami itu waktu itu saya bilangnya kita kita sowan ke para senior menengok para senior yang saat itu sakit karena banyak ibu-ibu yang sakit kemudian kami berusaha menengok menghibur dan ternyata ketika kami datang anak-anak ini mereka kemudian bertemu dengan para senior mereka senang sekali oh kalian ini ya terhubung kalian bersama-sama itu ada sebuah kebahagiaan dan akhirnya kegiatan itu kami lakukan terus tapi ada juga muncul persoalan kalau melakukan kegiatan itu tentu ada hal yang harus dikeluarkan misalnya uang untuk transportasi untuk buah tangan lalu apakah kita harus mengambil uang belanja kita terus menerus ya kadang-kadang ada yang tidak mampu lah seperti kami tidak semuanya mempunyai kemampuan itu akhirnya timbul atau muncul gagasan mengumpulkan barang bekas dan dijualnya kembali nah disitulah kami mengumpulkan barang barang-barang bekas meminta uang itu lebih sulit tapi meminta barang bekas akan mudah dan itu kita juga menjualnya kembali dan hasilnya untuk membeli buah tangan atau oleh-oleh para orang tua yang sakit nah disitu muncul ide ketika kami sortir baju ide itu muncul karena kami ketika bekerja sortir barang bekas itu sambil rengang-rengang sambil bernyanyi terus ada ide kenapa kita tidak bikin paduan suara atau vocal group terus saya tanya kenapa kita harus bikin paduan suara iyalah kalau kita bernyanyi kayak gini aja enak didengerin kok kita kan mau ngamen ngamen iya coba lihat itu yang di bus-bus itu mereka bisa dapat uang kenapa kita tidak saya pikir iya juga ya akhirnya saya dan teman-teman menyetujui dibentuklah sebuah paduan suara yang kemudian diberi nama dialita artinya di atas 50 tahun karena pada saat itu umur saya masih di atas 50 tahun lah di atas 50 tahun dikit nah kemudian terbentuklah paduan suara dan kami benar-benar ngamen waktu itu yang pertama ngamen di Gramedia pas peluncuran bukunya om Hersri kemudian diundang lagi di kedai Cikini kami juga ngamen pas waktu itu ada rumah ibu titik eh Hartiti mungkin nanti mbak Pipit bisa ceritakan itu terbakar jadi saya bilang yuk kita ngamen yuk untuk bu Hartiti gitu dan betul hasil kami ngamen itu kami kirimkan ke ibu Hartiti begitulah dialita yang kemudian terus berjalan dari pertama kalau ditanya tujuannya sederhana buat ngamen tapi ternyata di dalam perjalanan dialita hingga saat ini itu bukan hanya ngamen tetapi dari dialita kami menyanyikan lagu-lagu yang dibuat di dalam penjara untuk mempunyai nilai tersendiri karena di dalam lagu-lagu yang diciptakan di dalam penjara itu ada sejarah ada kisah yang itu bisa menambah pengetahuan kami nah kembali lagi tentang perjumpaan perjumpaan dialita dengan anak-anak muda di Jogja 1 November 2015 jadi 50 tahun terjadinya peristiwa 65 semesta memberkati dialita bertemu dengan anak-anak muda seniman muda bertemu dengan ayub waktu itu mungkin di Jogja pada tahun-tahun itu dan akhirnya perjumpaan inilah yang membawa dialita atau mengubah kehidupan dialita itu menjadi seperti sekarang ini karena kami bertemu dengan mahasiswa mahasiswa seniman dan bukan dari keluarga 65 dan ternyata dari sinilah dialita juga diberi kesempatan diberi ruang untuk bisa merekam lagu-lagu yang dibungkam dan album pertama dialita direkam oleh Yesmo with music dari Jogja dan konser pertama juga jadi pada 1 Oktober 2016 di bawah beringin Soekarno di Sanata Dharma Jogja dan itu tetap masuk di dalam perjalanan sejarah dialita dan kami tidak bisa melupakan saat-saat itu karena hingga saat ini dialita berjalan ternyata dari dialita yang hanya awalnya itu mau ngamen ternyata berubah dalam perjalanannya banyak mahasiswa yang datang dan kemudian juga melakukan riset dan ternyata dari lagu-lagu dialita bisa juga bercerita tentang sejarah dalam masa lalu tentang sejarah pada tahun 65 bagaimana ibu-ibu yang ada di dalam penjara itu bisa semangat sampai sekarang sekalipun mereka itu hidup pedis disiksa dan dihancurkan masa depannya di ancam dan diintimidasi walaupun sudah keluar dari penjara nah itulah selama order reformasi kemudian tahun 2025 sekarang 60 tahun jadi dari tahun 2015 hingga 2025 saya mengatakan 10 tahun masa-masa emas dialita penuh dengan keceriaan dukungan dari anak-anak muda dan kemudian dialita juga mendapatkan penghargaan dari korea dan kemudian juga dari akademi jakarta ternyata tahun 2025 serasa kami masuk didalam perusahaan terkait pemerintahan baru tapi kami bersyukur ibu-ibu dialita yang pernah ditahan ada dua orang ibu utati dan ibu muji selalu memberikan semangat kepada kami dan juga teman-teman muda yang mengelilingi kami senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada kami sehingga kami walaupun hidup didalam serasa mau masuk dalam kegelapan kami tetap kuat hingga hari ini satu hal 10 November mungkin itu masa paling kelam kenapa? karena rasanya rasanya kami itu seperti mau masuk didalam kegelapan itu tapi pikiran kami tidak aku tidak mau masuk ke situ lagi syukur kalau baca lihat medsos banyak anak muda yang mendukung dan mendukung penolakan dua orang yang menjadi mesin penghilangan paksa di tahun 1965 menjadi pahlawan nasional itu luka dan lalu apa? apakah kami masih punya harapan? dialita punya satu lagu salam harapan dan lagu itulah yang menyemangati kami sekalipun kami berjalan dalam kegelapan tapi kami masih punya harapan harapan kami dimana? di kalian semua teman-teman yang saya lihat tadi hampir 300 orang ada disini itulah harapan kami 300 orang itu bukan sedikit disitulah kami menaruh harapan kepada kalian semua kepada Ayu dan saya teman-teman untuk bisa mengembalikan Indonesia seperti yang kita harapkan dengan mengingat bahwa penuntasan kasus pelanggaran hal 65 tidak hanya tidak melalui jalan tunggal tapi banyak jalan yang bisa digunakan untuk menyelesaikan kasus ini dan yang paling utama adalah pengungkapan kebenaran tidak akan ada rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi bagi kami adalah ketika pelaku dan korban di ruang publik mempunyai kedudukan yang sama oleh karena itu marilah kita bersama-sama mewujudkan harapan kedepan agar Indonesia menjadi lebih baik lagi terima kasih Mbak Ayu mungkin itu saja yang bisa saya sampaikan terima kasih Bu Uci itu adalah saya tidak bisa berkata-kata kami beruntung sekali bisa mendengar Bu Uci dari malam ini kita sekarang sama-sama berada di dalam kegelapan tapi fungsinya forum ini adalah untuk bergandengan tangan bersama lintas negara lintas generasi karena itu mari kita mendengar dari situasi kedua dan ketiga silahkan Mbak Pipit aku tak gembeng sih aduh sorry tidak apa-apa silahkan Mbak Pipit semoga masih belum mengantuk sama kalau gembeng aku ambil nafas dulu oke salam kenal untuk semuanya dulu Mbak Uci aduh selalu begitu kalau ketemu aku mesti nangis ya Mbak aduh sebetulnya apa yang kemudian dialami oleh Mbak Uci itu sebetulnya juga teror stigma diskriminasi itu juga saya alami saya generasi kedua sama dengan Mbak Uci cuman bedanya saya lahir 16 tahun kemudian saya lahir tahun 1981 jadi saya tidak tahu apa yang terjadi di tahun 65 tapi saya mengalami itu juga gitu saya juga mengalami stigma kemudian juga diskriminasi bagaimana kemudian kehidupan keluarga sangat dibawah apa dibawah kemiskinan juga gitu dan susah susah lah kemudian nah bapak saya dulu dipenjara ketika dia masih muda dia dulu diisi sekarang isi dulu asri kemudian dia ikut CGMI jadi kemudian dia ditahan karena itu ditahan selama 14 tahun dia sampai ke pulau buru kemudian ibu saya karena dia sangat aktif di sangat aktif di kampung untuk menari dan bernyanyi kemudian ibu saya juga ditahan 14 tahun kemudian sampai ke pelantungan gitu dan ibu saya waktu itu usianya baru lulus SMP kemudian saya lahir setelah mereka bebas saya tidak tahu kalau saya sebetulnya adalah latar belakang keluarganya seperti yang diceritakan di buku pelajaran jadi saya mengalami sama saya yang sekolah dari SD, SMP sampai SMA itu saya mendapat pelajaran P4 PSPB, PMP kemudian disitu diceritakan bagaimana kejamnya PKI kejamnya Gerwani dan waktu itu ketika saya mendapat pelajaran itu pun saya ikut mengamini bahwa mereka jahat sesuai dengan pelajaran orang sekolah itu kan untuk pintar untuk tahu ilmu lebih banyak dan ketika di sekolah mendapatkan itu kan bayangannya sekolah itu jujur sekolah itu mendapatkan sesuatu yang baik tapi ternyata saya sering mendapatkan cerita itu saya diharuskan menonton film itu ketika masih sekolah dan tiba-tiba saya ketika saya SMA saya baru tahu kalau bapak ibu saya pernah ditahan dan mereka adalah papol gitu itu saya tahu ketika saya SMA dan saya sangat teringat dengan cerita guru SMP saya, waktu itu dia bercerita dan itu dijadikan bahan pelajaran, ada salah satu siswa dari SMA Taruna Nusantara waktu itu saya masih SMP dan dia dikeluarkan dengan tidak hormat karena ketahuan kalau kakeknya adalah anggota organisasi terlarang waktu itu saya sempat ikut sedih gitu mendengar cerita dari guru saya dan guru saya bilang begini, itu dulu guru PMP, makanya kalian tidak usah belajar politik itu kasihan karena kakeknya itu hanya tanda tangan saja dia datang, tanda tangan tidak ikut kegiatan, tapi kemudian dia diambil dan disalahkan dan dianggap sebagai PKI dan itu kemudian membuat seluruh keluarganya menderita mendapatkan stigma dan seterusnya, dan itu sangat melekat diingatan saya jadi ketika tiba-tiba saya tahu bahwa bapak ibu saya itu seorang tapol saya langsung ingat dengan yang diceritakan oleh guru SMP saya, wah ternyata posisiku sama gitu terus kemudian saya sempat down juga terus saya menarik diri saya tidak gampang percaya orang lagi dan tidak aktif lagi di kegiatan saya merasa apa ya apa ya kemudian merasa tertekan gitu itu sampai kemudian saya lulus SMA kemudian ya saya kemudian bisa kuliah, saya beruntung orang tua saya itu termasuk yang apapun yang terjadi anak-anak harus sekolah meskipun kami perempuan gitu kami harus sekolah setinggi-tingginya semampunya karena beberapa kali ketika saya masih masih sedih duduk di bangku SMP dan SMA bapak seringkali untuk mencari surat keringanan dari RT RW supaya kami bisa menunggak biaya gitu jadi membayarnya membayar biaya sekolah itu jadi ketika ujian waktu kami SMP dan SMA itu kalau SMP itu kalau ujian ketika tidak membayar SPP kami tidak bisa ikut ujian nah kemudian supaya saya bisa dapat ikut ujian dan dapat nomernya harus membayar SPP tapi karena tidak ada uang jadi kita harus ke RT RW nah ketika mencari keringanan di RT RW itu banyak diskriminasi yang apa yang diberikan gitu jadi kita harus berhati-hati dan mengambil ulang dan kami harus melakukan kontrol kemudian tadi sempat freeze ko ko ko ko ko Oke, kemudian setelah SMA itu, tahu kondisi itu, ya kami kemudian berusaha, itu tadi saya bilang bahwa orang tua termasuk sangat-sangat mendukung dalam sekolah gitu. Jadi saya tidak memikirkan apapun, ya saya berusaha untuk sekolah dengan baiklah, tidak memikirkan apapun, karena saya tahu saya tidak bisa memilih ingin apa kemudian, tapi bagaimana saya harus hidup gitu, dan salah satu cara untuk hidup itu adalah saya punya pendidikan. Jadi itu yang kemudian ditanamkan. Nah, kemudian di masa-masa mahasiswa ini, saya mulai, ada beberapa teman-teman mahasiswa yang kemudian datang gitu mengajak bapak untuk bercerita, terus kemudian saya juga mengantar bapak saya kemudian untuk datang ke diskusi-diskusi mahasiswa, dan mendengarkan cerita secara langsung, kemudian ketika para mahasiswa itu bertanya gitu. Dan itu membuka banyak hal, dan juga merubah. Banyak persepsi saya yang di awal yang sempat, di awal sempat otomatislah menyalahkan orang tua gitu dengan segala hal gitu, tanpa tahu gitu. Dan itu ketika kuliah sudah mulai bisa menerima dan bisa tahu gitu tentang hal-hal di masa lalu, kejadian di masa lalu, banyak hal yang terjadi itu bukan karena kesalahan mereka gitu, tapi ada banyak hal. Jadi memang di masa order baru itu, saya mengalami masa order baru karena reformasi itu saya barusan lulus SMA, 98 ya, kemudian reformasi, saya kuliah, nah itu saya sudah mulai, kemudian ada terbuka, ada cerita-cerita, diskusi-diskusi, mendengarkan banyak diskusi, gitu, kemudian ketika berjumpa dengan anak-anak muda dan mahasiswa ini kami sering jumpa, dan saya kemudian juga bertemu dengan generasi kedua yang seumuran saya, jadi tidak seumuran Mbak Uji, tapi kemudian seumuran saya, dan seadik-adik saya, gitu. Dan kami sama-sama generasi kedua yang jauh rentangnya dengan kejadian 65, tahun 65, dan kemudian kami sering ngobrol, dan saya juga kemudian merasa sama dengan yang Mbak Uji rasakan, bahwa ketika bertemu dengan generasi muda yang lain, saya merasa tidak sendirian, gitu. Saya tidak sendirian. Kemudian saya bisa merasa, apa, bukan lega ya, padahal sama-sama menderita, tapi ternyata kita punya keluarga ya, punya teman yang sama, punya rasa yang sama, gitu, dan kemudian kami malah sering ngobrol dengan para mahasiswa dan malah sepakat untuk bentuk forum kemudian waktu itu. Jadi waktu itu kita mulai membentuk forum FOPR HAM, waktu itu Forum Pendidikan dan Perjuangan HAM, di tahun 2000-an itu, dan kita sempat melakukan beberapa hal. Jadi waktu itu kami mulai membentuk forum FOPR HAM, waktu itu kami mulai melakukan beberapa hal. Pertama, sejauh Bali, di SMKI waktu itu, di 24 Juli 2005, saya ingat sekali, gitu, saya di situ, saya bersama Ibu Mami Almarhum, Bu Sri Muhayyati, saya membantu beliau untuk membuat acara itu bersama Mas Bondan Nusantara juga, Almarhum semua, sudah meninggal semua untuk mengumpulkan ibu-ibu. Nah, di situ kemudian forum yang setelah 32 tahun ya. 30 tahun mereka bebas, baru berjumpa di forum itu, dan itu sangat-sangat mengharukan, gitu. Forum itu kemudian seperti forum temukangan benar-benar, karena mereka kemudian saling mengenali, malah ada juga yang lupa, karena kemudian wajahnya berbeda, karena mereka setelah keluar dari penjara tidak berani berjumpa, tidak berani bertemu, gitu. Dan forum ini kemudian difasilitasi juga. Ya, teman-teman syarikat Indonesia waktu itu, syarikat Indonesia. Jadi kemudian saya juga berjumpa kembali dengan, bergabung malahan kemudian dengan syarikat Indonesia untuk membantu mendokumentasikan para penyintas perempuan yang ada di Jawa juga, yang mereka sempat ditahan di pelantungan waktu itu. Kemudian dari pertemuan Temurindu ini, mulailah beberapa ibu yang ada di kota, mereka sangat ingin pertemuan itu ada, gitu. Dan itu membuat mereka semakin bersemangat dan merasa tidak sendirian. Jadi kemudian terbentuklah, mulai menginisiasi terbentuk kelompok-kelompok penyintas di daerah masing-masing. Dan di kota kemudian terbentuklah kiper. Kiprah perempuan waktu itu. Jadi kiprah perempuan terbentuk setelah pertemuan Temurindu menggugat senyap itu. Atas permintaan juga oleh para ibu-ibu yang ingin mereka berjumpa, tidak perlu terlalu lama, tapi juga yang dekat-dekat saja, di sekitar tempat tinggal masing-masing, tapi mereka bisa bercerita. Gitu, kemudian di kiper ini. Jadi, ibu-ibu menjadi, apa ya, ruang ini kemudian seperti mungkin sama dengan Mbak Uji juga ya, di Dialita. Ketika berkumpul itu kan sebetulnya saling menguatkan. Dan di kiper ini juga menjadi tempat yang saling menguatkan kami. Jadi yang healing itu ternyata tidak hanya ibu-ibu, tapi juga kami yang anak-anak muda di situ. Generasi kedua, saya juga merasa bahwa saya sebetulnya, saya kadang tidak menganggap. Menakui bahwa saya trauma ya, tapi saya tiba-tiba itu tadi, gampang menangis, gampang ini, gampang setelah mendengar sedih itu tidak bisa menahan apapun. Jadi, sebetulnya saya ini juga trauma juga. Tapi ketika di kiper ini, kemudian saya juga berlahan-lahan mengobati trauma itu bersama ibu-ibu. Ibu-ibu juga kemudian healing ya di situ, karena mereka bisa punya ruang aman bersama untuk saling berbagi cerita, berbagi kesedihan. Berbagi kebahagiaan gitu dan juga di ruang kiper ini kemudian menjadi tempat yang untuk saling membantu juga gitu. Dan seperti yang tadi Mbak Uci bilang, meskipun kami saling membantu, tidak dalam bentuk uang, tapi teman-teman yang lain malah membantu. Misalnya Mbak Uci tadi yang dia salah satu ibu kiper yang dia kebakaran rumahnya, kemudian beliau yang dari Jakarta datang untuk membantu kami yang ada di Jogja gitu. Tidak hanya dengan Bu Harti. Ada beberapa ibu yang lain yang teman-teman dialita ini yang ngamennya ini sangat berfungsi bagi kami-kami ini juga gitu. Untuk ibu-ibu yang lain yang mungkin sedang sakit gitu. Jadi membutuhkan itu dan terima kasih sekali dengan Mbak Uci dan teman-teman yang lain yang peduli juga dengan keluarga sendiri gitu. Kemudian di kiper ini kan sebetulnya mayoritas beberapa ibu adalah seorang seniman-seniwati ya. Jadi kemudian salah satu. Satu kegiatan kiper yang menyenangkan dan healing yang membahagiakan adalah bermain teater bersama gitu. Jadi kemudian kita berjumpa juga kemudian dengan seniman-seniman yang di Jogja, bertemu dengan Mbak Ayu dan teman-teman mahasiswa. Kemudian kita bikin kolaborasi bareng. Ada dua yang kita lakukan yaitu kejolak makam keramat yang pertama kali dan itu kami tidak menyangka akan se-antusias itu orang yang menonton. Dan ternyata bagi ibu-ibu itu sendiri. Itu juga sebuah kebahagiaan yang luar biasa gitu. Jadi ketika pentas itu selesai, kemudian dimuat di koran, itu menjadi dipigura oleh beberapa ibu kemudian pentas mereka itu. Jadi mereka bilang bahwa ini salah satu cara kami, salah satu cara yang membuat kami sangat bahagia bahwa mereka memanusiakan kembali kami. Dengan pentas teater itu, ibu-ibu merasa sangat diwongke gitu. Dan kemudian pentas yang kedua dilanjutkan selamatan anak cucu Sumilah yang dilakukan teater Tamarab Kiber di Selasar Visipol bersama teman-teman mahasiswa, akademisi, seniman, termasuk Ayu dan teman-teman, dan juga para mahasiswa. Itu sangat membahagiakan bagi kami. Ada generasi yang sebenarnya tidak tahu tentang 65, tapi mereka punya simpati dan empati untuk ingin tahu, ingin tahu dan juga untuk membantu. Itu juga salah satu healing terbesar kami juga kemudian. Dan kemudian setelah itu juga ibu-ibu Kiber ini dan kami itu sering sekali, tapi sekarang sudah enggak sih setelah COVID ya. Maksudnya sebelum COVID itu kami sering kali bersama Mbak Ayu. Dan juga Mbak Dike, salah satu dosen HI UKM dan IIS juga ketika kami menghadiri kuliah-kuliah perdana dengan para mahasiswa untuk berbagi cerita gitu. Dan itu juga salah satu yang menyembuhkan bagi kami gitu ketika cerita kami didengar, ketika mereka mau tahu apa yang terjadi di masa lalu gitu. Dan itu salah satu apa ya, nyala api yang membuat kami. Tetap semangat gitu. Meskipun sekarang beberapa sudah cukup sepuh untuk tidak mungkin lagi kemana-mana. Itu untuk sedikit aktivitas tentang saya dan Kiber kemudian. Terus kemudian dari awal pembentukan Kiber, dari saya masih belum menikah, saya masih mahasiswa sampai kemudian saya sudah, sekarang saya sudah beranak dua. Nah cowok dan cewek gitu. Saya agak bingung ketika dengan kondisi yang latar belakang keluarga gitu. Saya mau mencoba untuk apa yang terjadi pada saya. Jadi misalnya saya tahu setelah saya gede ya, saya tahu tentang latar belakang keluarga dan saya mencoba untuk anak-anak saya. Saya ingin mereka tahu sedini mungkin gitu, tapi juga dengan pelan-pelan gitu. Jadi saya mencoba untuk mengajak. Karena anak-anak saya ini sejak kecil ketika pertemuan ibu-ibu Kiber mereka akan saya bawa gitu. Mereka akan saya bawa, saya kenalkan dengan, ini temannya Simba, ini temannya Simba gitu. Saling cerita, ngobrol gitu. Jadi mereka sudah terpapar itu sejak kecil gitu di setiap pertemuan. Kemudian setelah itu juga dengan kondisi seperti. Seperti ini, saya mencoba mengajak anak-anak saya. Kemudian untuk belajar sejarah itu, saya mengajak mereka ke beberapa museum, situs-situs kekerasan yang ada di Jogja. Dan saya menunjukkan cerita-cerita itu. Jadi saya ingin kayak menurunkan ingatan-ingatan apa yang terjadi di masa lalu ya. Harapan saya ya ingatan ini tidak hilang gitu. Karena ini satu-satunya cara bagi kami untuk terus menceritakan bahwa ini ada sesuatu ketidakadilan loh yang terjadi sampai sekarang. Tidak terungkap, tidak terselesaikan, dan belum ada harapan untuk diselesaikan. Jadi memang, dan ini juga terbantu juga kemudian. Jadi dengan teman-teman UGM ini kita juga punya kegiatan bersama namanya City Tour ke situs-situs kekerasan. Bahkan kami juga kemudian membuat audio tour gitu. Jadi teman-teman bisa mendengarkan di audio tour ini cerita-cerita penyintasnya. Selangsung yang pernah berada di situs-situs tersebut gitu. Jadi itu sudah kami lakukan kemudian untuk merawat ingatan ini juga. Itu sejak tahun 2017 dan itu sampai sekarang. Sampai sekarang siapa yang ingin tahu tentang situs-situs yang ada di Jogja, kami akan mencoba menerangkan itu. Terus kemudian salah satu hal yang lain, saya beruntung. Orang tua saya, bapak saya. Saya itu seniman, pelukis. Jadi dia itu bisa membuat, ingatan dia, bisa dia tuliskan, bisa dia gambarkan dalam sketsa-sketsanya. Jadi saya ketika memberikan pelajaran sejarah kepada anak saya, saya lebih gampang gitu. Dan tidak hanya untuk anak saya. Ketika ada teman-teman yang berkunjung dan bercerita dan bertanya tentang apa yang terjadi ketika tahun 65. Berdasarkan sketsa-sketsa bapak saya bisa bantu untuk menerangkan. Jadi sketsa bapak ini memang ya luar biasa. Sangat detail sekali tentang apa yang beliau alami. Jadi saya bercerita tentang apa yang bapak saya alami. Sayangnya tentang ibu saya alami, saya agak susah sekarang. Karena ibu saya sekarang kondisinya sudah tidak memungkinkan untuk bercerita. Demensianya cukup parah gitu. Dan dia sudah lupa banyak hal. Begitu. Nah salah satu saya juga untuk. Mendidik ketiga, kedua anak saya ini juga dalam pemilihan sekolah. Saya agak trauma dengan sekolah yang memaksa anak untuk memberikan PR dan banyak juga pelajaran-pelajaran yang tidak pas gitu. Apalagi pelajaran sejarah. Jadi saya cukup ngeri. Jadi saya memilih sekolah alternatif untuk anak-anak saya. Kemudian untuk pemberian gelar pahlawan Soeharto ketika saya dengar. Sebelum itu. Ketika Prabowo menjadi presiden saya sudah patah semangat itu. Aduh ini yang. Aduh sampai nggak bisa ngomong. Yang membantai banyak orang. Yang melakukan banyak kejahatan. Bisa menjadi pemimpinku. Aku sudah. Terus ini jadi pemimpin yang seperti ini. Terus bagaimana nanti hidupku dan anak-anakku itu juga aku agak. Agak aduh. Terus kemudian. Kemudian 10 November ketika pahlawan itu menjadi pahlawan yang membantai ratusan ribu keluarga kami gitu. Itu menjadi pahlawan. Saya nggak bisa ini lagi kemudian. Dan yang menjadi pimpinan puncaknya pun kemudian menjadi pahlawan juga. Aduh tidak tahu lah. Patah hatinya sungguh-sungguh parah. Sudah potel lah. Sudah nggak tahu kemana itu. Kemudian. Apa yang kemudian. Saya juga sempat kepikiran ini kalau kemudian. Apa. Soeharto kemudian menjadi pahlawan padahal peristiwa-peristiwa kekerasan masa lalu yang dilakukan oleh negara sejak zaman dia itu belum diungkapkan. Kemudian apa yang terjadi dengan sekarang. Nah besok teman-teman yang. Mungkin mereka nggak sadar ya ketika memilih presiden. Yang sekarang itu. Tapi kemudian apa yang terjadi pada anak-anak muda ketika tahun 65 itu kemarin terjadi juga di tahun 2025 di bulan Agustus kemudian. Mereka bisa ditahan tanpa bukti, tanpa apa. Langsung diambil di tempat, diambil bahkan sampai masuk ke kampus-kampus. Jadi sepertinya kayak mengulang kejadian ya. Kejadian ketika tahun 65 itu dibiarkan saja itu terjadi. Dan kemudian. Dianggap apa ya dianggap biasa dan itu kemudian berulang berulang berulang dan di tahun ini itu terjadi lagi gitu jadi sepertinya kita tidak pernah belajar ya tidak pernah belajar apa yang terjadi di masa lalu jadi itu terulang kembali jadi sepertinya untuk generasi muda kayaknya kalian harus hati-hati nanti ke depan nanti kalian diskusi buku kemarin sudah bukan ketika ada diskusi ada mahasiswa yang diskursing kemudian ketika dia mau berbicara. Membicarakan tentang menolak Suharto sebagai pahlawan kayak gitu jadi sepertinya represi-represi seperti ini akan akan ke depan akan lebih banyak dan saya juga nggak tahu itu bagaimana nanti kita menghadapi hal-hal yang seperti itu. Kemudian apa yang bisa saya lakukan dan harapan saya ya sama dengan Mbak Uci bahwa sepertinya kita harus benar-benar bekerja sama dan meningkatkan solidaritas ya. Sesama korban karena korban itu tidak hanya 65 banyak sekali korbannya sekarang dan semakin ke depan kayaknya semakin bertambah semakin bertambah. Ya mungkin itu sih Mbak Ayu mewariskan ingatan tapi tidak mewariskan luka itu harapannya tapi ini ingatan yang penuh luka itu bagaimana ini kita mau mewariskannya mungkin itu terima kasih. Iya tugas tugas kita. Sekarang adalah berbagi tugas dengan Mbak Uci dan Mbak Pipit dan Bimo dan teman-teman untuk terus mengingat persolidaritas sambil menyembuhkan diri. Bukan tugas yang mudah ya cuma harus kita lakukan karena itu satu-satunya pembawa terang di tengah semua pesimisme dan kegelapan ini. Terakhir Bimo sebelum nanti ya jika masih ada waktu teman-teman masih kuat kita bisa sedikit aja jawab. Tapi jika tidak kita punya WhatsApp. Di mana kita masih bisa melanjutkan diskusi tapi Bimo last but not least generasi ketiga. Silahkan Bim. Aku izin ini enggak buka kamera ya karena koneksi internetnya lagi lemot. Enggak apa-apa silahkan. Mau koreksi dulu Mbak aku bukan sejarawan. Aku cuma pernah kecamplung di jurusan sejarah. Alumni mahasiswa sejarah ya kan ya udah gitu kan. Tadi kalau ceritanya Mbak Pipit itu kan kita lihat ya gimana Mbak Pipit itu kaget ya ketika mendengar latar belakang. Halo Bimo. Bimo. Bimo. Kamu tadi terjedah Bim. Halo. Halo. Bener. Bener. Bener. Bener. Bener. Bener. Bener. Bener. Bener. Bener. Bener. Bener. Bener. Ah sepertinya terlempar ya Bimo ya. Ada yang mau beritahu lagi hujan deres di Jogja mungkin karna itu internetnya Bimo kurang baik. Mungkin sembari menunggu Bimo. Mungkin 아니에요. There's someone who said, is that Bimo? Apa? Apa? Ada dari kawan-kawan yang mau melihat? mau bertanya kepada pembicara atau menyampaikan refleksinya, bisa diketik di chat. Atau kalau pendek, bisa juga disampaikan secara open mic. Halo. Halo, Bim. Kamu terputus-putus tadi. Sorry, kita kembali ke Bim lagi. Silakan, Bim. Oke, iya. Kalau buat saya itu mendengarkan ketika saya tahu bahwa keluarga saya terlibat 65 itu bukan sesuatu yang spesial ya. Karena kebetulan saya itu sudah secara perlahan-lahan itu dikenalkan mengenai latar belakang keluarga saya itu sejak kecil. Jadi dari TK saya suka diajak nantar nenek saya untuk ikut. Arisan bersama dengan pencinta selainnya waktu itu di Jakarta. Lalu ikut juga diskusi-diskusi. Bahkan diperbolehkan untuk mendengar ketika saya diwawancara. Jadi secara perlahan-lahan itu saya sudah mulai mengerti mengenai kisah keluarga saya sebenarnya itu. Tetapi itu juga menjadikan saya kadang. Itu bertanya-tanya gitu. Kenapa sih keluarga korban itu beberapa itu susah sekali terlalu takut ya untuk menceritakan latar belakangnya. Belakang ke keluarganya sendiri. Nah, pada tahun 2013 saat itu saya sudah pindah ke Jogja. Di sebelah rumah saya. Itu ada Wisma namanya Santidharma. Dan itu biasa digunakan untuk acara-acara seperti retret dan semacamnya. Kebetulan tante saya dan juga beberapa kawan termasuk Bu Uci juga ya. Waktu itu membuat acara seperti pelatihan untuk pemberdayaan ekonomi penyintas gitu ya. Di situ. Tetapi acara itu. Digeruduk oleh segrombolan orang yang mengatasnamakan FAKI. Forum Antikomunis Indonesia. Dan setelah kejadian itu. Saya harus meninggalkan rumah. Kabur dari rumah sekitar 2 atau 3 bulan waktu itu. Nggak bisa pulang. Padahal waktu itu kelas 3 SMA. Dan tinggal beberapa bulan menuju ujian paket C waktu itu saya. Dan peristiwa itu, pengalaman itu ya bikin saya sadar ya. Karena itu 15 tahun setelah reformasi. Tapi kalau saya aja masih mengalami yang seperti ini. Apalagi yang dulu dialami oleh para penyintas. Dan juga generasi kedua yang mengalami masa orde baru waktu itu. Yang hidup di masa orde baru. Yang dimana stigma dan diskriminasi. Baik dari pemerintah ataupun juga dari masyarakatnya. Juga masih sangat berat. Dan kemudian saya juga secara pribadi mulai memahami lah. Kenapa kemudian korban itu masih trauma. Masih takut untuk menceritakan tentang kisah mereka. Kepada orang lain termasuk keluarganya sendiri. Ya untungnya sih. Waktu itu saya lulus SMA ya. Masuk jurusan sejarah. Nah kenapa jurusan sejarah? Saya itu sering diajak untuk bertemu dengan penyintas. Dan penyintas itu, apa ya. Kisah penyintas itu gak selamanya sedih. Dan banyak juga yang seru sebenarnya. Saking serunya itu kayak petualangan Harry Potter gitu ya. Tapi sebenarnya kalau di iniin juga. Kalau di dengerin secara lebih lanjut. Itu sebenarnya miris juga cerita-ceritanya mereka. Dan itu yang membuat saya menjadi sangat tertarik untuk belajar sejarah. Bagaimana hal-hal yang terjadi di masa lalu. Itu ternyata. Masa lalu. Masa lalu. Itu masih memiliki dampak. Bahkan jauh setelah peristiwa itu terjadi. Nah untuk keaktifan saya di isu 65. Sebenarnya sih gak banyak ya. Saya gak terlalu aktif di isu 65. Kadang-kadang bantu-bantu aja di Keeper. Sama Mbak Ayu juga. Lalu pernah juga di Voperham. Tapi itu belakangan saya bersama membantu beberapa teman. Termasuk. Mbak Pipit, Mas Andreas dan beberapa kawan lainnya itu untuk mendokumentasi dan mengarsipkan. Mengumpulkan sebanyak mungkin apapun itu yang terkait 65 yang masih bisa kami selamatkan. Mulai itu dari kisah korban. Mulai lalu dokumen-dokumen. Seperti surat pembebasan. Atau foto-foto. Dari penjajah. Dan ini menjadi sangat penting ya. Kalau kita ingat siapa presiden kita. Lalu bagaimana dua sosok kontroversial yang diangkat menjadi pahlawan nasional 10 November yang lalu. Dan apalagi juga saat ini sedang ada proyek penulisan nasional. Sejarah nasional yang baru ya. Dimana dokumentasi ini menjadi suatu cara untuk menjaga memori kolektif. Supaya generasi yang depan masih bisa belajar apa yang terjadi di masa lalu. Dan tidak mengulangi. Atau kesalahan yang sudah kita lakukan. Itu sih mbak. Terima kasih banyak Bimo. Atas sharing-nya. Apa namanya. Melengkapi sesi belajar bersama hari ini. Kita sudah dengar dari banyak orang. Penting sekali mendengar pengalaman dirimu sebagai keluarga pencinta generasi ketiga. Nah ini sudah masuk jam 9.30 di Indonesia. Dan mungkin sudah dini hari di Australia. Mbak Roro dan kawan-kawan di Australia. Sebentar lagi sudah bisa sahur ya kan. Nah pertanyaan saya ke teman-teman. Silahkan memberi reaction. Apakah mau kita akhiri di sini. Atau ada satu sesi 10 menit. Q&A atau. Atau. Atau sesi bebas. Bagaimana teman-teman. Saya merasa harus bertanya kepada teman-teman dulu. Karena kami yang ada di Amerika sekarang jam 10.30 pagi. Jadi masih. Masih terang benderang. Oke. Oke banyak yang memberi reaksi masih bersemangat. Sekarang saya buka forumnya ke teman-teman semua. Kita sudah menghabiskan waktu 2,5 jam. Belajar bersama para ahli. Juga keluarga penyintas 65. Dan itu pun masih kurang. Apakah ada dari kawan-kawan yang mau bertanya. Atau menyampaikan refleksinya di malam ini. Sebelum nanti. Saya tutup kira-kira sekitar 10 sampai 15 menitan lagi. Adakah. Dari teman-teman yang ingin buka suara. Atau. Atau. Silahkan Rizky. Rizky Apriya Bhakti. Boleh dinyalakan microphone-nya. Oh. Tidak bisa unmute. Nat tolong di unmute. Nat. Mas Admin. Terima kasih Mbak Ayu. Apakah suara saya jelas? Sudah terjelas. Sudah jelas Mas Rizky silahkan. Oke. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Ini sangat menarik. Terkait dengan diskusinya. Karena juga kebetulan saya adalah seorang guru. Yang juga guru sejarah. Jadi ini adalah momen yang sangat-sangat pas. Untuk. Setidaknya untuk diri saya pribadi. Buat belajar dan sekaligus mendapatkan. Informasi langsung. Dari orang-orang yang mendapatkan. Dalam tanda kutip diskriminasi. Oleh. Jadi. Ini hal yang menarik. Dari Bu Uci. Dan orang-orang yang sudah menceritakan tadi. Dan mungkin saya. Terkait ini mau bertanya. Sekaligus. Memberikan refleksi. Untuk di lingkungan sekolah sendiri. Karena kebetulan saya mengajar SMA. Sejarah momen yang pas banget. Karena memang di. Untuk anak-anak SMA sekarang. Alhamdulillahnya memang di buku sejarah. Tidak ada terkait dengan materi yang secara spesifik. Membahas tentang berbagai macam. Seminasi ataupun orang-orang yang terkait. Karena memang masuknya di dalam kurikulum. Nah tapi memang lumayan ada. Beberapa anak yang sudah mulai tertarik. Untuk ke arah sana. Jadi saya melihatnya sebagai pengajar. Tertarik juga untuk urusan hak asasi manusia. Bahwasannya untuk anak-anak. Gen Z disini ada. Ada ketertarikan untuk. Membuka sejarah yang. Nampaknya di buku sejarah tidak ada. Dan mungkin. Dari cerita-cerita ini juga. Sangat menarik dan. Mungkin suatu saat juga saya akan menceritakan. Ketika mengajar materi momen baru. Ini POV langsung. Dari orang-orang yang terkait. Dari segala macamnya. Dan. Diskusi ini juga sangat menarik. Saya langsung benar-benar mendaftar. Dan bahkan ada 16 pertemuan ya. Kalau kurang lebih. Jadi saya mengucapkan terima kasih banyak. Atas kesempatan yang diberikan ini. Saya mau menyatakan refleksinya aja sih. Terima kasih banyak Mbak Ayu. Atas kesempatan ini. Terima kasih Mas Rizky. Kami semua percaya guru sejarah. Guru PPKN. Sekarang adalah garda terdepan pendidikan bangsa ini. Jadi terima kasih juga. Sudah meluangkan waktunya. Semoga-moga. Di sesi-sesi setelah ini. Ada pertanyaan yang. Mungkin pertanyaan. Untuk kita semua ini. Dari Mbak Evi. Apakah ada yang bisa dilakukan. Untuk mendorong. Pembatalan gelar pahlawan nasional. Untuk Soeharto dan Sarwadi. Saya tidak bisa menjawab. Teman-teman mungkin. Ada yang tahu. Lalu. Ada juga pertanyaan. Mau minta pendapat dari Narasumber. Bagaimana caranya. Supaya pola pikir bisa berubah ya. Kita berpuluh-puluh tahun. Dicuci otaknya. Dengan. Kepercayaan bahwa. Kiri itu menakutkan. Dan harus dijauhi. Nah. Apakah ada yang mau. Berbagi jawaban. Bagaimana caranya. Belajar bersama-sama. Dan mengubah pola pikir bersama-sama. Ada mungkin yang mau menjawab Mbak Roro. Mas Amandrias. Bu Uci. Mbak Pipit. Mas Wahid. Itu ada yang mau menjawab. Kayaknya Mbak. Oh sorry. Oh ada yang mau menjawab. Dari Raga. Ya boleh. Atau juga tidak bisa. Suaranya ini sekali. Apa kecil sekali. Bisakah. Masih kecil tapi sudah lebih baik. Silahkan. Ya terima kasih sudah. Saya ingin. Menjawabnya tentang. Pertanyaan apakah ada. Satu lagi ya. Untuk membatalkan. Salah satu. Kalau. Menurut saya. Justru. Ini susah. Ini susah karena. Saya melihat. Dengan. Terjadi sekarang. Bahwa. Negara ini. Sedang. Apa yang namanya. Melindungi. Para pelaksana pekerjaan. Dulu. Bahwa. Sekarang saja. Setelah diterbitkannya. Buku. Sejarah yang ditulis ulang. Ini sudah. Mustahil untuk. Membatalkan. Gelar. Pahlawan. Sudah. Masuk dalam. Korps. Kalau saya sebut. Saya sebut. Dan. Tidak bisa. Ada strateginya mungkin. Kemungkinan. Kecil. Kemungkinannya kecil dan. Tidak cukup besar. Kita. Di sini adalah negara yang demokrasi. Yang dimana. Negara ini. Negara mirip asiat. Bukan negara untuk. Kekuasaan para pejabat. Saya yakin bahwa. Ada strategi. Tapi kemungkinan. Ada jawaban yang lebih penting dari yang lain. Terima kasih Mbak. Terima kasih. Kak Raga. Penting ya poinnya. Di satu sisi memang sepertinya sulit karena. Negara sekarang sedang berusaha. Membuat versi sejarahnya sendiri. Tapi di saat yang sama. Jangan-jangan. Strategi untuk. Membatalkan gelar pahlawan nasional. Harus berjalan beriringan dengan. Upaya-upaya untuk melindungi demokrasi. Karena hanya ketika. Demokrasi berjalan dengan baik kembali. Kita bisa juga. Berupaya membatalkan gelar. Pahlawan nasional tersebut. Deva izin menanggapi. Tapi. Jika boleh. Saya ingin mendengar dulu. Tentang pertanyaan Ita tadi. Soal gimana ya caranya. Supaya kita bisa mengubah pola pikir. Bayangkan. Bapak Ibu ditanya oleh. Seorang generasi alfa. Anak SMP. Apa yang harus saya lakukan. Kalau saya mau mulai. Belajar tentang. Orba. Saya tidak mau. Saya tidak mau lagi. Terlalu sensitif. Terlalu alergi dengan yang kiri-kiri. Maka yang mau. Menjawab pertanyaan Ita. Andreas mungkin. Apa ya pertanyaannya ya mbak. Tadi bagaimana caranya. Supaya. Kita bisa mengubah pola pikir. Kalau. Kiri itu menakutkan. Oh. Oke. Mungkin. Abis Bu Uci. Om Andreas ya. Tadi kayaknya Mbak Roro juga mau jawab. Silahkan Bu Uci. Kalau bagi saya sih. Saya melihat dari. Sisi keluarga korban. Kiri itu. Sudah ada. Stigma. Tentang PKI. Tentang Gerwani. PKI dan Gerwani itu. Digambarkan sebagai sebuah. Sesuatu yang jahat. Misalnya ateis. Kemudian. Juga menyelet-nyelet jendal. Dan sebagainya. Dan itu sudah ditanamkan. Selama 32 tahun. Sehingga. Kiri itu sudah identik dengan. PKI. Jadi. Itu memang. Bukan berarti tidak bisa hilang. Tapi. Masih sulit. Dan itu akan berangsur-angsur. Apabila. Ada kelompok-kelompok diskusi. Seperti sekarang ini. Kelompok diskusi ini kan mengubah. Pola pikir. Mungkin satu orang. Dari teman-teman yang ada di sini. Pada kawannya. Yang masih mengatakan bahwa. Kiri itu adalah PKI. Dan PKI adalah ateis. Mungkin. Menurut saya. Seperti itulah yang. Mesti disadarkan. Pola pikir. Bahwa. PKI, ateis. Dan Gerwani menyelet-nyelet jendal. Dan pejam. Itu yang sudah tertancap. Dua tahun. Dan ternyata order baru berhasil. Sehingga kita. Bukan berarti tidak bisa. Tapi akan memakan waktu. Cukup lama juga. Dan kita harus. Kuat. Tetap semangat. Untuk bisa mengubah itu. Terima kasih. Mungkin itu saja. Terima kasih Bu Uci. Silahkan Om Andrea selalu Mbak Roro. Sekalian ini ada pertanyaan dari Asmil. Apakah ada cara yang efektif. Untuk mengajak rekan-rekan mahasiswa saya. Untuk mengingat. Secara 65 dan memberitahu. Bahwa Soeharto memang bukan pahlawan. Dan bahwa Prabowo mengikuti. Cara kerja pemerintahan Soeharto. Yang otoriter. Mungkin bisa dijawab sekalian ya. Silahkan Om Andrea. Oke baik. Saya pikir generasi muda saat ini. Gen Z dan sebagainya. Lebih punya pikiran terbuka. Saya pikir dan. Mereka mudah sekali mengakses banyak informasi. Itu. Saya pikir peluang yang positif. Tapi juga. Ada upaya. Ya. Mulai kita kembali kalau dulu. Misalnya sebelum 65. Ada gerakan yang cukup masif. Untuk melawan buta huruf. Tapi buta huruf ini. Dalam pengertian kita melihat buta huruf. Misalnya yang dilakukan banyak gerakan. Pendidikan buta huruf. Sekaligus pendidikan politik. Jadi membuka perspektif. Dan ada dua hal kalau saya pikir. Pertama keterbukaan itu harus terus kita bangun. Yang dua. Kembali membangun kesadaran sejarah. Dan kesadaran kritis. Kesadaran sejarah ini penting. Kita melihat sejarah kita. Kontribusi gerakan kiri. Dan kalau kita. Bicara para bapak pendiri bangsa. Atau ibu pendiri bangsa. Semuanya pembelajar. Marxisme, sosialisme. Dan sebagainya. Kalau kita periksa juga bahkan. Syarikat Islam pun tumbuh juga. Dalam dialektika. Dalam perjumpaan antara. Pemikiran kiri. Pemikiran banyak hal. Termasuk pan islamisme. Nah sejarah kesalahan. Histografi sejarah Indonesia. Kita bisa refer ke. Bukunya zaman bergeraknya. Takasi. Saya agak lupa. Jadi dia mengkritik tentang. Historiografi Indonesia. Yang membelah bahwa antara komunis. Nasionalis. Islam dan sebagainya. Sebuah ruang yang terkotak-kotak secara solid. Padahal kalau kita lihat. Pada masa itu tidak ada penggolongan. Ada seorang komunis bisa menjadi anggota. Syarikat Islam. Bisa jadi anggota Muhammadiyah. Bahkan menjadi anggota partai komunis. Artinya ada ruang yang lebih terbuka. Yang terjadi pada masa. Sejarah kontribusi gerakan kiri. Dan kita. Hari-hari ini juga ada beberapa kelompok. Yang sudah memulai. Untuk kita melihat sejarah. Secara lebih terbuka. Termasuk sejarah gerakan kiri. Kita lihat kawan-kawan di Belanda. Membangun situs gerak ingatan. Mereka mengangkat. Para penyintas. Para eksil. Tetapi juga mengangkat tentang sejarah. Kehidupan mereka. Kontribusi mereka. Dalam perjuangan kemerdekaan. Kontribusi dia dalam perlawanan terhadap kolonialisme. Jadi. Demikian juga ada di dalam negeri. Kawan-kawan yang juga membangun. Institut sejarah. Sejarah gerakan kiri. Artinya. Dan kita melihat spektrum kiri itu juga. Cukup luas. Yang selama ini memberi warna. Memberi kontribusi bagi. Tercapainya kemerdekaan kita dan sebagainya. Perjuangan bangsa. Saya pikir itu sedikit saja dari saya. Untuk soal. Makasih Om. Mbak Roro. Sepertinya sempat open microphone. Silahkan. Mungkin saya cuma mau berbagi pengalaman. Pengalaman saja. Mungkin kita hidup di zaman yang berbeda. Tetapi. Saya coba berbagi. Ketika saya dibesarkan. Dari generasi yang harus. Nonton film G30. SPKI. Waktu itu di kepala saya. PKI itu adalah iblis. Ini manusia jahat. Saya punya ketakutan yang luar biasa. Dengan manusia ini. Manusia-manusia ini. Kemudian saya masuk ke dalam. Masuk kuliah jurusan sejarah. Coba kita. Berdiskusi tentang 65. Di kepala saya berdiskusi. Tentang 65 adalah G30. SPKI. Penjahatnya. Gerwani itu adalah iblis. Perempuannya. Tetapi kemudian yang terjadi adalah. Saya berkomunikasi dengan orang-orang. Yang ada di dalam. Yang di penjara. Menjadi tahanan politik. Awal-awalnya ketika saya berkomunikasi. Dan ngobrol dengan mereka. Datang ke rumah mereka. Itu ketakutan luar biasa. Saya gak mau minum air yang disediakan sama mereka. Di kepala saya itu. Muncul itu. Saya gak apa namanya. Tetapi lama-kelamaan mereka adalah manusia-manusia biasa. Yang punya cerita. Yang bahkan saya gak pernah tahu. Ada sesuatu yang luar biasa. Saya datang beberapa ke. Rumah ibu-ibu bapak-bapak. Ada satu orang yang bilang ke saya. Kalau kamu tidak percaya cerita saya. Kalau kamu percaya saya. Waktu itu ada di lubang buaya. Maka tidak perlu kembali ke rumah ini. Saya pulang. Saya renungkan. Saya merenung. Tapi pusing dan lain sebagainya. Entah. Entah apa yang membawa saya. Tapi saya kembali lagi ke mereka. Mendengarkan cerita-cerita. Dan ternyata cerita-cerita itu. Tidak jauh dari keseharian kita. Seperti Mbak Uci. Cerita tadi. Ada pipit cerita. Di rumah. Selama bertahun-tahun. Kemudian saya ngobrol. Dengan orang-orang 65. Yang dulu menjadi tahanan. Atau keluarganya. Kemudian mereka mengarahkan. Bagaimana kalau kamu ngobrol dengan pelaku. Di kepala saya. Yang tadinya berubah. Bahwa pelaku ini adalah penjahat. Yang luar biasa. Yang tidak punya hati membunuh orang-orang ini. Yang membunuh orang-orang. Yang hari-hari saya ngobrol. Itu. Itu berubah lagi. Saya harus ngobrol dengan pelaku. Yang di kepala saya. Mereka adalah penjahatnya. Mereka ini penjahatnya. Dan ngobrol dengan mereka. Memang ada beberapa yang merasa. Saya adalah pahlawan. Ada. Tetapi ada juga yang merasa bahwa. Akhirnya mereka. Merasa bersalah. Saya harus membunuh keluarga saya. Saya dipaksa. Nah. Dari situ. Saya melihat bahwa. Peristiwa 65 itu. Bukan sesuatu yang horizontal. Ada instruksinya. Begini. Peristiwa penggantian. Saya rasa. Dan kemudian membuka. Peristiwa 65. Ini. Bukan hanya peristiwa yang jauh-jauh. Memang. Buku-buku sudah banyak. Literatur sudah banyak. Tetapi juga. Bertanya di rumah saja. Membuat sejarah rumah. Sejarah apa namanya. Bertanya kepada kakek. Nenek. Atau siapapun di kampung. Itu adalah. Cara yang paling sederhana. Itu saja. Terima kasih. Semangat Mbak Roro. Hal yang paling efektif adalah. Pulang dari pertemuan ini. Kita ngobrol lagi. Dengan anggota di rumah. Anggota keluarga kita di rumah. Apa sih yang terjadi. Dengan keluarga kita di tahun 65. Mbak Roro melakukan itu. Saya juga melakukan itu. Kebetulan saya berasal dari keluarga pelaku. Kakek saya adalah seorang tentara. Yang di akhir hidupnya menyesali. Apa yang dia lakukan selama 65. Apa ya. Kebutuhan tentang kebenaran. Itu kan tidak disediakan oleh negara. Jadi mengutip. Mengutip Wiji Tukul. Mari kita jadi bunga liar di tembok. Ketika ada ruang yang ditutup. Maka kita buka. Ketika ada pintu yang ditutup. Kita buka jendela. Ketika kita tercerai berai. Saatnya kita bergandingkan tangan. Karena hanya dengan memahami. Dan. Menghadapi trauma kita di masa lalu. Kita bisa jadi bangsa yang lebih baik. Wah saya jadi terang haru nih. Nah mungkin dengan itu. Saya ingin. Menutup sesi kita. Perdana kita kali ini. Ada belasan sesi yang lain. Untuk sesi berikutnya. Kemungkinan besar akan diadakan. Di minggu pertama. Bulan Desember. Karena minggu depan. Di banyak tempat libur. Kemungkinan besar pembicara kita. Nanti akan hadir. Dari Amerika Utara. Tema kita di pertemuan berikutnya. Adalah keterlibatan. Negara-negara lain. Dalam pendirian. Dalam lahirnya Orde Baru. Orde Baru tidak berdiri sendiri. Tadi sudah disinggung oleh Mbak Roro. Hal pertama yang disahkan oleh Orde Baru. Adalah Undang-Undang Penanaman Modal Asing. Dan Undang-Undang ini disambut. Oleh banyak sekali. Negara-negara barat. Ada banyak ahli. Yang sudah menulis tentang ini. Kami berusaha keras. Untuk menghubungi mereka. Dan mengundang mereka. Supaya kita lebih memahami. Konteks globalnya. Belajar sejarah. Mulai dari memahami konteksnya. Supaya kebenaran yang kita cari itu. Apa namanya. Lebih tebal. Bukan kebenaran yang mengkotak-kotakan. Tapi kebenaran. Yang mencerahkan. Supaya di masa depan. Kita tidak terjebak. Di lubang yang sama. Mungkin begitu dari saya. Semoga saya bisa bertemu. Kami semua bisa bertemu lagi. Kami dari Indonesia Bergerak. Kontras. Eksi Kamisan. Logos ID. Bisa bertemu semua kawan-kawan lagi. Di pertemuan berikutnya. Jangan lupa gabung grup WA-nya. Kita akan membagi banyak sekali resource di situ. Kita bisa saling berbagi inisiatif. Berjejaring. Berkoneksi di situ. Sembari terus merawat solidaritas. Ini ke depannya. Begitu. Selamat malam yang di Indonesia. Sampai ketemu di lain kesempatan. Sama tidur yang di Melbourne juga. Sama yang di Australia. Selamat pagi. Selamat pagi. Ayo. Arang. Pipit. Makasih. Sudah setia selama 3 jam. Makasih semuanya. Amin. Sampai jumpa. Mbak Uci. Bye-bye. Ayo, Bu Uci. Kapan lagi Nidyalita konser online? Biar saya bisa nonton. Kapan kamu balik? Ayo. Kalau tidak Desember akhir, awal Januari, Mbak. Asik. Tenang. Aku akan membentuk pintumu.